KONSEP KETUHANAN DALAM HINDU

 

Srada dan Bhakti Terhadap Tuhan yang Maha Esa

1.     Umum

Agama Hindu yang dianut oleh warga negara Republik Indonesia ini, berasal dari tanah Hindu (India), di mana Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) menurunkan Weda SRUTI (Sabda suci). Di antara Maha-Resi-2 yang dapat menangkap isi Weda SRUTI itu bernama Maha Resi Byasa. Isi ajaran suci ini disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi; Weda SRUTI ini dituliskan hingga berujud pustaka Suci Weda. Dalam perkembangan agama Hindu ke Indonesia terkenallah nama Maha Resi Agastya, yang namanya dianut dalam prasasti-prasasti. Beliau mendapat Siwa Jnana (kesadaran langsung dari Bhatara Siwa) bahkan digelari pula sebagai Bhatara Guru.

Perkembangan agama Hindu di Indonesia sejak abad 1 Masehi. Perkem­bangan ini tidak menimbulkan konflik, tidak menghilangkan kepribadian bangsa Indonesia bahkan sebaliknya memberikan suatu inspirasi spirituil kepada apa yang mereka telah miliki. Kerajaan Hindu yang telah mencapai kejayaan pada  mas Majapahit. Kemudian dilanjutkan di Pulau Bali. Pandita-Pandita/Rsi-Rsi Rohaniwan yang terkenal di Indonesia dan Bali khususnya, ialah Mpu Kuturan, Dang Hyang Nirartha dan lain-lain. Dari dulu sampai kini di Bali masih setia mengemban agama Hindu. Candi Prambanan di Jawa Tengah dan Pura Besakih di Bali adalah tempat-tempat suci bagi umat Hindu yang merupakan perujudan dari spirituil agama dan seni budaya yang luhur.

  1. Nama agama.

Agama Hindu diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa di lembah sungai Sindhu (India), yang merupakan awal dimulainya sebuah keyakinan kepercayaan. Sungai Sindhu suatu sungai yang dipandang suci dari segi spirituil dan kata Sindhu ini kemudian menjadi Hindu. Baik kata Sindhu maupun Hindu berakar kata "ind" yang berarti air, air suci, amrta. Sungai Sindhu dalam hal ini bukanlah sekedar pengertian geografis namun mempunyai pengertian filosofis-spirituil yaitu sungai dari surga yang mengalir di dunia.

  1. Tiga kerangka agama Hindu.

Agama Hindu (Hindu, Dharma) terdiri dari tiga kerangka dasar atau tiga bagian besar yaitu: Tattwa (filsafat), Susila (ethika), dan Upacara (rituil). Ketiga bagian ini merupakan satu kesatuan, jalin menjalin tidak dapat dipisah-pisahkan dalam pelaksanaan agama Hindu. Hal ini dapat dibandingi dengan sebutir telur yang terdiri dari pada tiga bagian:

  1. Sari (kuning telur) - bandingkan dengan Tattwa.
  2.   Putihnya - bandingkan dengan Susila.
  3.   Kulitnya - bandingkan dengan Upacara.

Ketiganya jelas merupakan kesatuan yang harmonis.

  1. Pengertian-pengertian.

Kata-kata Agama dan Dharma berasal dari bahasa Sanskerta. Kata Agama, berakar kata "gam" artinya: pergi; mendapat awalan menjadi Agam, yang artinya kebalikannya dari pada pergi yaitu datang, mendapat akhiran “a” menjadi agama yang berarti: kedatangan, diwarisi turun temurun. Agama juga dikupas sebagai berikut:

A - gam - a = tidak - pergi - sesuatu.

Artinya sesuatu yang tidak labil, tetap langgeng kekal abadi, yang kekal abadi tidak lain dari pada Brahman/Sang Hyang Widhi Waca (Tuhan Yang Maha Esa).

Kata Dharma berakar kata dhr.

Artinya secara luas: memelihara, menopang, membimbing, menuntun, mengatur, kebenaran, agama, memanggul, undang-undang (peraturan), pengabdian tugas suci, buddhi luhur dan sebagainya.

Kesimpulannya: agama Hindu (Hindu Dharma) mempunyai pengertian sabda suci dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) yang diwujudkan dalam Weda Sruti dan Weda Smrti untuk mengatur alam semesta dan isinya serta merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan skala niskala/lahir bathin.

2.     POKOK-POKOK AJARAN AGAMA HINDU.

a.    Sradha/keyakinan/kepercayaan.

Sradha artinya keyakinan/kepercayaan. Berbicara soal keyakinan maka tentunya kita akan bertanya, apakah dasar Umat Hindu untuk meyakini sesuatu.

Adapun dasar atau alasan ukuran yang dipakainya untuk meyakini sesuatu adalah:

  1. Tripramana

Tripramana ialah tiga ukuran yang merupakan dasar ataupun alasan atau ukuran bagi umat Hindu untuk meyakini sesuatu.

Adapun Tripramana itu adalah:

a). Pratyaksa pramana adalah cara untuk meyakini sesuatu dengan jalan melihat langsung, menyaksikan dengan mata kepala sendiri sehingga tak ada yang perlu diragukan tentang sesuatu itu, selain hanya harus meyakininya.

b). Anumana pramana adalah suatu ukuran bagi umat Hindu dalam meyakini sesuatu, di mana ia dapat yakin akan sesuatu itu adalah dengan menarik suatu kesimpulan yang logis dan masuk akal berdasarkan data-data yang ada sebagai fakta-fakta. Misalnya dari jauh kita melihat asap di angkasa sedang mengepul menandakan adanya api.

  1. Agama pramana adalah suatu ukuran atau jalan yang dipakai oleh umat Hindu dalam meyakini sesuatu, adalah karena sering mendengar, cerita-cerita, petuah-petuah, ucapan-ucapan kitab suci, cerita guru-guru, orang-orang suci lainnya yang mana orang-orang suci oleh masyarakat karena memiliki kesucian lahir batin, dan kemudian kita yakini apa yang telah disampaikannya kepada kita. Misalnya, kita belum pernah tahu bahwa di angkasa luar banyak terdapat planet-planet sebagaimana juga bumi kita ini, katanya bulat dan berputar. Cerita itu disampaikan kepada kita oleh guru ilmu bumi alam, dan sebagai seorang murid yang percaya kepada guru maka kitapun meyakini apa yang beliau katakan itu.

 

2. Panca Sradha.

Panca sradha adalah lima keyakinan/kepercayaan dasar dalam agama Hindu. Lima keyakinan/kepercayaan itu adalah:

a). Yakin akan adanya Brahman atau Widhi Sradha bahwa umat Hindu mempunyai keyakinan yang tinggi akan adanya serta Kemaha Agungan Tuhan Yang Maha Esa (Brahman). Dalam hal ini Brahman (Tuhan) dianggap sebagai sumber segala yang ada di dunia dari seluruh alam ini, baik sakala maupun niskala. Beliau maha sakti dan berada di mana-mana, dan mampu melakukan semua pekerjaan (Mahakarya) dan karenanya Beliau mempunyai banyak fungsi dalam mengendalikan perputaran roda dunia ciptaan-Nya ini. Dalam fungsi yang berlain-lainan ini Beliau diberi nama yang berbeda pula dan dimanifestasikan sebagai sesuatu kekuatan yang perlu dihormati. Beliau memiliki sinar suci yang Maha dahyat yang sanggup melebur segala kepapaan umat-Nya. Sinar/manifestasi Beliau ini disebut "Dewa". Dewa berasal dari bahasa Sanskerta dengan akar kata Div yang artinya sinar. Agama Hindu adalah "Monotheisms" tetapi karena kemampuan manusia sangat terbatas untuk melukiskan ke-Agungan Tuhan itu, maka para bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama. Dalam Weda diuraikan, bahwa Tuhan itu Tunggal tak ada duanya (Ekam Eva Advityam Brahman), dan ada juga ucapan lain dalam Weda yang mengatakan "Ekam Satviprah Bahuda Vadanti Agni Yama Mataricvanam" artinya: hanya ada satu hakekat dari pada kebenaran (Tu­han), akan tetapi para bijaksanalah yang menyebut dengan berbagai nama seperti Agni, Yama, Mataricvan dan lain-lain.

b).  Yakin akan adanya Atman (Atma Sradha) bahwa agama Hindu yakin juga akan adanya Atman sebagai sumber hidup semua makhluk. Atman bersumber pada Brahman, dan merupakan percikan-percikan halus (sumber micro) dari Brahman (Tuhan). Di dalam raga Sarira (badan manusia) Atma disebut Jiwatma yang berarti Atma yang memberi hidup terhadap badan makhluk, di mana tiap-tiap makhluk terdiri dari dua unsur yakni unsur jasmaniah dan rohaniah. Apabila badan dan atman itu bersatu barulah akan terjadi penjelmaan atau hidup yang berarti. Seperti halnya bola lampu tentu takkan menyala bila tak ada aliran listriknya, pun listrik tak akan mungkin menyala berupa lampu penerangan, bila tak ada bola lampunya. Jadi persatuan antara listrik dan bola lampu jualah yang menyebabkan ia dapat dikatakan sebuah lampu penerangan. De­mikian jugalah halnya dengan persatuan badan dengan atman (jiwatma) yang menimbulkan hidup. Atman menjadi pengendali badan, sebagai kusir dengan kereta. Bila salah satu rusak maka pincanglah kereta itu dalam perjalanan. Demikian pula apabila atma (roh) dan badaniah, salah satu rusak akan terjadilah hidup yang pincang. Karenanya perlulah diselaraskan antara jiwatman dengan jasmani, dan haruslah diberi rawatan yang sebaik-baiknya. Badan yang utuh kalau tidak berjiwa adalah sama saja dengan mayat (bangkai), sedangkan jiwa yang tanpa badan tidak berwujud. Makanan untuk jiwatman adalah santapan rohani ialah berupa kepuasan akan ajaran agama dan pendidikan mental spirituil serta etika yang tidak berupa materi seperti makanan, minuman dan lain sebagainya. Perlu diketahui bahwa sifat Atman itu adalah kekal abadi, karena ia sendiri adalah merupakan bagian dari pada Brahman. Mengenai sifat-sifat Atman itu sendiri telah dijelaskan dengan gamblang dan detail dalam kitab suci Bhagawad Gita.

Proses pertemuan antara badan jasmaniah dengan atman menyebabkan atman terpengaruh oleh sifat Awidya, karena Awidya   (kegelapan) itu adalah sifat khas dari badan jasmani itu sendiri. Jadi manusia itu lahir dengan membawa sifat (dalam keadaan) Awidya yang menyebabkan tak sempurnanya manusia itu. Memang manusia tidak sempurna, bahkan akhirnya ia harus mati. Dalam keadaan mati maka roh yang masih diselubungi oleh bekas-bekas unsur-unsur duniawi itu akan meninggalkan badan jasmani. la terus ke alam surga apabila selama bersatu dengan badan, selama menempuh kehidupan jasmaninya itu penuh dengan perbuatan baik (Subhakarma) dan sebaliknya akan masuk neraka apabila dalam hidupnya banyak berbuat dosa (Asubhakarma). Tetapi tidaklah tetap di sana saja namun pada akhirnya akan menjelma kembali mengalami Purnabhawa sesuai dengan Karma Phalanya. Bahkan akan me­njelma terus menerus atau berulang kali sebelum atma itu dapat bersatu kembali dengan sumber-Nya (Sang Hyang Widhi Wasa). Kesimpulannya bahwa agama Hindu menyakini kalau semua makhluk di atas dunia ini terdiri dari dua unsur, yaitu unsur jasmani dan rohani (Atma). Atma adalah menghidupkan jasmani, dan jasmani itu adalah perwujudan materi.

c).  Agama Hindu yakin benar akan adanya Hukum Karmaphala, buah perbuatan. Karma artinya perbuatan sedangkan phala artinya buah. Jadi maksudnya dalam hal ini adalah setiap orang yang melakukan kebaikan selama hidupnya, niscaya akan menjumpai hasil yang baik, sedangkan setiap orang yang banyak berbuat dosa selama hidupnya, tentu ia akan menjumpai neraka (kesengsaraan). Singkatnya agama Hindu meyakini bahwa setiap perbuatan, baik disengaja maupun tak disengaja, tetap akan ada buah atau hasilnya. Karma atau perbuatan yang baik, tentu akan memetik hasil yang baik pula. Demikian juga karma atau perbuatan yang jelek tentu akan memetik hasil yang jelek pula.

Menurut saatnya kapan phalakarma atau buah perbuatan itu diterima oleh seseorang, maka karmaphala ini dapat dibedakan menjadi tiga macam yakni:

1)   Sancita Karmaphala adalah perbuatan pada kehidupan terdahulu yang phalanya belum sempat dinikmati pada kehidupan penjelmaan ini.

2)   Prarabda Karmaphala ialah hasil dari pada perbuatan kita pada kehidupan ini, yang langsung telah dapat kita nikmati tanpa ada sisanya lagi.

3)   Kryamana Karmaphala ialah hasil dari pada perbuatan  dalam kehidupan sekarang ini yang hasilnya belum sempat dapat dinikmati dalam kehidupan yang akan datang.

d).  Agama Hindu yakin akan adanya Punarbhawa atau Samsara, lahir kembali. "punar" = lagi, kembali; "bhawa" = lahir. Jadi Punarbhawa artinya lahir berulang-ulang disebabkan karena orang itu masih berdosa. Sehingga atmanya/jiwatman belum dapat bersatu dengan Brahman. Hal ini disebut Samsara yang artinya "Penderitaan".

Lahirnya kembali atma ini adalah disebabkan karena masih adanya unsur-unsur tertentu yang mengikat atma itu. Yakni unsur-unsur yang masih ada hubungannya dengan bekas-bekas duniawi, materiil, karena wasana dan lain-lain, yang kesemuanya itu disebut "Maya" sehingga atma itu tidak dapat mencapai kembali sifat aslinya. Dan juga tidak dapat bersatu dengan sumber-Nya (Tuhan).

Jadi karena adanya pengaruh maya inilah yang menyebabkan atma itu mengalami Samsara, atau penjelmaan yang berulang kali (Purnarbhawa). Sehubungan dengan ini, pertama-tama perlu diyakini  bahwa  antara arti "atma" dengan "roh" ialah masih ada perbedaannya menurut ajaran filsafat agama Hindu. Atma: adalah bagian-bagian terkecil. Jari Brahman (Sang Hyang Widhi Wasa) yang masih bersifat asli dan murni sesuai dengan sifat asalnya. Atman ini berfungsi untuk memberikan tenaga hidup terhadap unsur-unsur materiil baik bersifat nyata maupun yang bersifat gaib. Sesuai dengan fungsinya inilah maka atma sering disebut "jiwa" Sedang "roh" itu adalah atma yang telah dibalut oleh unsur-unsur maya, baik yang sakala maupun yang niskala, sehingga sifat roh itu tidaklah asli/murni sebagai sifat asalnya. Kalau kita umpamakan bahwa atma yang sifatnya masih suci murni seperti sifatnya Brahman itu, adalah bagaikan udara yang terdapat di alam raya ini, sedangkan roh yang memberi tenaga hidup kepada unsur-unsur maya yang sakala niskala itu adalah bagaikan udara yang terbelenggu dalam bola. Jadi yang selalu mengalami penjelmaan (Purnarbhawa) adalah roh itu sendiri, karena unsur materiil yang niskala itu selalu masih ada hubunganya dengan unsur-unsur materiil yang sakala itu.

Bila roh itu sifatnya baik dan suci, maka ia dapat tinggal di surga, sedangkan roh yang sifatnya buruk dan penuh dosa maka ia tinggal di alam neraka. Roh yang berada di surga itu akan menjelma lagi menurut perintah/kehendak Tuhan, sedangkan roh yang berada di neraka itu menanti keadilan Tuhan. Bila unsur-unsur maya itu sama sekali telah habis menyelubungi atma itu maka barulah atma itu akan dapat bersatu dengan asalnya yaitu bersatu dengan Brahman (Moksa). Jadi pengaruh maya itulah yang menyebabkan adanya penjelmaan atau punarbhawa itu. Dengan keyakinan tentang kebenaran akan adanya penitisan (punar­bhawa) itu, maka timbullah kesadaran umat-umat melakukan "Pitra Yajna" yaitu korban suci terhadap leluhur; melakukan "fubhakarma" yaitu berbuat yang baik; bertirtha yatra yakni usaha mensucikan diri lahir batin, berdana puniya yaitu beramal kebajikan dengan tulus ikhlas dan lain sebagainya sesuai dengan ketentuan ajaran agama dengan harapan agar luput dari belenggu samsara/punarbhawa itu sehingga dapat mencapai kebahagiaan kesempurnaan yang kekal abadi sesuai dengan tujuan agama Hindu yakni “Moksa”.

e)   Agama Hindu yakin akan adanya alam Moksa yang sempurna di mana dapat dinikmati kebahagiaan abadi dan sempurna (Suka tan pawali Dukha). Moksa artinya kebebasan dari ikatan keduniawian, bebas dari karmaphala dan bebas dari samsara serta atma dapat bersatu kembali dengan Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa). Moksa tidak hanya dapat dicapai setelah manusia mengakhiri hidupnya di dunia ini, tetapi dalam dunia inipun moksa itu dapat dinikmati yakni apabila manusia telah bebas dari ikatan dari keduniawian dan penuh kesucian lahir batin. Hal seperti ini disebut "Jiwan Mukti" yaitu moksa semasih hidup di mata orang semacam ini langsung dapat mendengar sabda suci Sang Hyang Widhi, dengan melakukan Yoga Samadhi yang tinggi serta dapat pula melihat wujud beliau. Setelah lepas dari ikatan keduniawian, tidak kembali ke dunia melainkan bersatu dengan Hyang Widhi, serta mengalami kebenaran, kesadaran, kebahagiaan yang abadi atau Sat cit Ananda. Sat artinya kebenaran yang mutlak, Cit artinya kesadaran yang tinggi. Ananda artinya kebahagiaan yang abadi, suka tan pawali duka.

Demikian uraian secara singkat tentang moksa yang juga merupakan Sradha atau keyakinan umat Hindu dan tujuan agama Hindu yang terakhir.

3.   Tri Marga.

Tri berarti tiga; Marga berarti jalan. Pengertiannya ialah bahwa ada tiga jalan utama untuk menghubungkan diri ke hadapan Hyang Widhi Waca (Tuhan) yaitu : jnana marga, bhakti marga dan karma marga.

  1. Jnana Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai kesempurnaan (dharma dan moksa) dengan mempergunakan kebijaksanaan filsafat (jnana). Di dalam usaha untuk mencapai kesempurnaan dengan kebijaksanaan itu, terdapat para arif bijaksana (jnanin) yang berusaha mencapainya dengan keinsyafan bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang bersumber pada suatu sumber alam yang di dalam kitab suci Weda disebut Brahma atau Purusa dan di dalam ajaran suci Caivapaksa disebut Civa.

Sarwam Idam Khalu Brahma (Segala yang ada tidak lain dari pada Brahma).

Brahma Atma Aikyam (Brahma dan Atma adalah tunggal).

Demikianlah ucapan-ucapan dalam ajaran agama Hindu yang dapat menguatkan semangat untuk melaksanakan Dharma dengan jalan Jnana.

Dalam Bhagawad Gita Bab IV, 10.

VITA RAGA BHAYA KRODHA

MANMAYA MAM UPASRITAH

BAHAVOJNANA TAPASA

PUTA MADBHAVAM AGATAH

(Terlepas dari napsu dan kemarahan, memusatkan dan menyerahkan diri pada KU, banyak mereka yang disucikan oleh api pengetahuan dapat mencapai keadaan sebagai diri KU).

  1. Bhakti Marga.

Bhakti Marga adalah usaha untuk mencapai kesempurnaan (dharma moksa) dengan jalan sujud bhakti kepada Tuhan. Dengan sujud dan cinta kepada Iswara Tuhan Pelindung dan Pemelihara semua makhluk maka Iswara akan menuntun seorang Bhakta, yakni orang yang cinta bhakti dan sujud kepada-Nya untuk mencapai ke­sempurnaan. Dengan menyembah dan berdo'a mohon perlindungan dan ampun atas dosa-dosanya yang pernah dilaksanakannya serta mengucap syukur atas perlindungan-Nya, kian hari cinta bhaktinya kepada Tuhan kian mendalam hingga Tuhan Iswara akan muncul di hadapan Bhakta itu.

BHAKTYA TV ANANYAYA SAKYA

AHAM EVAMVIDHO'RJUNA

JNATUM DRASHTUM CHA TATTVENA

PRAVESHTUM CHA PARAMTAPA

(Akan tetapi dengan berbhakti tunggal hanya pada KU, Oh Arjuna, Aku dapat dikenal sungguh dapat dilihat dan dimasuki ke dalam. Oh, penakluk musuh (Arjuna).

(Bhagawad Gita XI. 54).

Dalam Arjuna Wiwaha disebutkan:

"Om sembahing anatha tinghalana de triloka carana, Wahyadhyatmika sembahing hulun i jengta tan hana waneh, Sang Iwir agni sakeng tahen kadi minyak sakeng dadi kita, Sang Saksat metu yan hana wwang amuter tutut pinahayu".

(Ya Tuhan saksikanlah sembah si nista, oleh Tuhan Pelindung jagat tiga ini. Lahir batin bhakti hamba ke hadapan-Mu tak ada lain. Kau bagaikan api berasal dari kayu kering bagaikan minyak yang keluar dari susu (santan), yang pasti keluar jika ada orang mengkaji tentang dharma utama).

  1. Karma Marga.
  2. arma Marga berarti jalan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan (Dharma, Moksa) dengan kelakuan, kebajikan, namun tiada terikat oleh napsu hendak mendapat hasilnya berupa kemasyuran, kewibawaan, keuntungan dan sebagainya melainkan melakukan ke­wajiban demi untuk mengabdi berbuat amal dan kebajikan untuk kesejahteraan umat manusia dan sesama makhluk. Selain dari pada itu Karma Marga berhampiran inti ajarannya dengan bhakti marga, yaitu menyerahkan segala usaha di tangan Tuhan dan memandang segala usaha, pengabdian, kebajikan, amal dan penghormatan itu bukan dari dirinya sendiri melainkan dari Tuhan. Dengan memandang segala usaha untuk kesejahteraan sesama manusia dan makhluk adalah semua dari Tuhan dan bukan dari dirinya sendiri dan melakukan kewajiban (karma) tanpa ikatan maka jiwa karmayogi yaitu orang beriman yang menempuh karma-marga (perbuatan beramal tanpa ikatan) sebagai jalan akan dapat menunggal dengan Parama Siwa (Brahma).

 

KARMANAI'VA HI SAMSIDDHIM

ASTHITA JANAKADYAH

LOKA SANGRAHAM EVA 'PI

SAMPASYAN KARTUM ARHASI

(Bhagawad Gita III, 20).

(Hanya dengan perbuatan Prabu Janaka dan lain-lainnya mendapat kesempurnaan. Jadi kamu harus juga melakukan pekerjaan dengan pandangan untuk pemeliharaan dunia).

B.    Tata Cara Sembahyang (Yadnya).

1.   Upacara/Yajna.

Upacara adalah bagian dari pada ajaran agama/dharma. Adapun upacara ini mengandung pengertian yang luas dan mendalam, sebagai sarana (alat) pembantu untuk mencapai tujuan terakhir. Upacara secara umum disebutkan juga dengan istilah yajna (pengorbanan suci), di mana sembahyang (persembahyangan) telah tercakup di dalamnya. Secara singkat dapatlah disimpulkan tentang pengertian yang terkandung dalam istilah upacara dan yajna sebagai berikut:

1)     Upacara ialah cara-cara melakukan hubungan antara atman dengan parama-atman, antara manusia dengan Sang Hyang Widhi serta  semua manifestasi-Nya dengan jalan yajna untuk mencapai kesucian jiwa. Untuk upacara ini dipakailah upakara (alat, sarana), sebagai alat penolong untuk memudahkan manusia menghubungkan dirinya dengan Sang Hyang Widhi dalam bentuk yang nyata (sakala).

2)     Yajna ialah pengorbanan atau persembahan suci. Kata yajna berasal dari bahasa Sansekerta dari akar kata yaj, berarti "korban" yajna berarti pengorbanan, selamatan. Adapun dalam pelaksanaan yajna ini dibantu dengan upakara, tetapi yajna itu tidak mutlak memakai alat upakara sebagai canang bebanten/sajen dan alat-alat kebendaan lainnya. Sehubungan dengan yajna ini maka diketahui istilah-istilah yajna antara lain sebagai berikut:

a)     Panca Marga Yajna. Yaitu lima jenis jalan pengorbanan suci untuk mendapatkan kesempurnaan. Yajna ini dijelaskan dalam Bhisma Parva sebagai berkut:

  1. Dravya Yajna Yaitu Yajna dengan jalan harta benda di mana termasuk sasaji.
  2. Tapa Yajna Yaitu Yajna dengan jalan tapa.
  3. Yoga Yajna Yaitu Yajna dengan jalan Yoga.
  4. Swadhyaya Yajna yaitu Yajna dengan mempelajari pustaka - pustaka suci.
  5. Jnana Yajna yaitu Yajna dengan jalan ilmu pengetahuan.

Petikan:        

DRAVYAYAJNAS TAPOYAJA

YOGAYAJNAS TATHA PARE

SVADHYAYA JNANAYAJNAS CHA

YATAYAH SAMSITAVRATAH

(Bhagawad Gita IV. 28).

Artinya:        

"Yang lainnya memberikan sebagai korban benda kekayaannya atau sifat tapanya, atau latihan batinnya sedangkan yang lainnya yang berpikiran terkendalikan dan memegang sumpahyang keras, memberikan pelajaran dan pengetahuannya sebagai korban".

b)     Panca Yajna, Yaitu lima jenis pengorbanan suci yang patut dilaksanakan oleh manusia untuk mencapai kesempurnaan hidupnya yaitu:

1)   Dewa Yajna.

Yaitu pengorbanan suci/persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) serta semua manifestasi-Nya (prabhawa-Nya). Melaksanakan persembahyangan trisandhya dan muspa (kebhaktian sembahyang) di tempat-tempat suci sebagai pura, khayangan, pelinggih dan tempat-tempat suci Iainnya. Persembahyangan ini dilaksanakan pada hari-hari suci hari Raya, Rahinan (hari peringatan), Pawedalan (hari ulang tahun). Adapun Hari-Hari Suci/Hari-Hari Raya itu antara lain: Galungan, Kuningan, Saraswati, Pagerwesi, Nyepi, Siwaratri, Purnama Tilem, Kajeng Kliwon, Budha Kliwon, Tumpek, Budha Wage (Cemeng), Angara Kasih dan sebagainya.

 

2)   Pitra Yajna.

Yaitu pengorbanan/persembahan suci kepada pitra atau roh-roh suci dengan menghormat, mengenang dan mohon tuntunan keluarga atau leluhur antara lain para roh-roh suci para leluhur. Menyelenggarakan upacara terhadap mayat/jenazah (cawa wedana) dari tingkat permulaan sampai akhir (atma wedana).

3)   Manusia Yajna.

Yaitu pengorbanan suci yang ditujukan untuk kesempurnaan hidup manusia antara lain:

a)   Mengadakan upacara selamatan pada waktu:

  1. Bayi dalam kandungan atau pranatal gharba wedana atau mage-dong-gedongan.
  2. Bayi baru lahir.
  3. Bayi berumur 42 hari (tutugkambuhan).
  4. Bayi berumur tiga bulan.
  5. Bayi berumur enam bulan (aweton, oton).
  6. Anak meningkat dewasa (rajaswala).
  7. Potong gigi.
  8. Kawin.

b)   Mengadakan usaha untuk kemajuan serta kebahagiaan hidup anak dalam hidupnya antara lain menyelenggarakan pendidikan dan kesehatannya.

(c)  Menolong serta menghormati sesama manusia, misalnya menghormati tamu (atithi krama) serta menolong orang yang menderita secara tulus ikhlas.

4)   Rsi Yajna.

Yaitu pengorbanan suci keagamaan dari umat yang ditujukan kepada Rsi atau orang-orang suci dengan berbagai jalan:

  1. Menobatkan calon sulinggih (madiksa) menjadi orang suci agama (sulinggih).
  2. Membangun tempat-tempat pemujaan untuk beliau.
  3. Menghaturkan punya/berdana kepada para sulinggih.
  4. Mentaati dan mengamalkan ajaran-ajaran para sulinggih.
  5. Membantu pendidikan agama dalam masyarakat.

5)   Bhuta Yajna.

Yaitu korban kepada sarwa bhuta (makhluk rendahan) baik nyata (sakala) maupun tidak nyata (niskala) serta binatang, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain ciptaan Tuhan yang terdiri dari pada Panca Mahabhuta (lima unsur utama) yaitu : Akasa (ether), Bayu (hawa), Teja (api, panas, sinar), Apah (air, zat/benda cair), Perthiwi (tanah, benda/zat padat) dengan cara:

  1. Mengadakan upacara yajna (korban suci) kepada makhluk yang kelihatan serta kepada alam semesta, yang dinamai Mecuru atau tawur-agung diatur dari yang terkecil sampai yang terbesar yaitu : yajna sesa (saiban) atau banten jotan setiap selesai masak di dapur, segehan, pancasatha, pancasanak, panca kelud, rsigana, balik sumpah, tabuh gentuh, pancawali krama (setiap sepuluh tahun sekali), Eka Dasa Rudra (setiap seratus tahun sekali) yang tujuannya untuk menciptakan suasana harmonis dan keseimbangan antara macrocosmos (jagat raya) dan microkosmos (badan pribadi).
  2. Menjaga dan memelihara serta menyelenggarakan kehidupan makhluk antara lain binatang-binatang peliharaan (peternakan), serta tanam-tanaman (pertanian) dengan sebaik-baiknya di samping alat-alat yang membantu kita dalam kehidupan kita sehari-hari.
  3. Nitya Karma Yajna dan Naimittika Karma Yajna.

Kalau dilihat dari masa waktu pelaksanaan yajna, maka dapatlah dibedakan atas dua bagian yaitu:

1)   Nitya Karma Yajna: Yajna yang dilaksanakan tiap-tiap hari dalam kehidupan umat Hindu sehari-hari.

2)   Naimittika Karma Yajna: Yajna yang dilaksanakan pada masa/waktu-waktu tertentu.

Adapun pelaksanaan tentang Yajna disesuaikan pula dengan tiga hal atau cara yaitu: Desa (keadaan tempat), Kala (keadaan waktu), dan Patra (keadaan suasana).

Yajna selanjutnya berarti korban atau persembahan suci dengan ikhlas rela suci lahir batin.

Sembahyang : berarti pemujaan, kebhaktian, persembahyangan.

Sembah        = Bhakti, hormat, puja, dan sebagainya.

Hyang           = Mulia, agung, suatu sebutan untuk memuliakan Tuhan serta manifestasi-Nya (Prabhawa-Nya).

Hyang           = Sebutan untuk menghormati roh-roh suci para leluhur.

Sembahyang = Berarti melaksanakan sembah pujaan, bhakti, kepada yang dimuliakan. Adapun sembahyang (persembahyangan)  ini  dapat dibedakan atas dua bagian yaitu:

  1. Trisandhya
  2. risandhya artinya tiga; Sandhya artinya perhubungan atau pernyatuan. Selanjutnya Trisandhya berarti menghubungkan diri melalui bayu, sabda, dan idep atau tenaga, ucapan, dan pikiran atau kayika, wacika, manacika dengan Hyang Widhi (Tuhan) yang dilakukan tiga kali sehari atau sekali sehari, yaitu waktu : pagi, siang, dan sore (malam).

2.   Muspa

Muspa: menyembah, mabhakti, dengan sarana (alat) bunga air dan dupa atau sarana tanpa sarana.

Dalam rangka upacara yaitu sembahyang/yajna ini hendaklah tersirat unsur-unsur yang mengandung sifat-sifat antara lain adalah sebagai berikut:

a.   Rasa ikhlas rela dalam pengorbanan serta kesucian lahir batin yang digerakkan oleh kesadaran ajaran agama/dharma.

b.   Hendaknya khidmat, suci, tentram, hening, mantep, menggentarkan suasana kesucian.

c.   Bersifat astiti bhakti ke hadapan Sang Hyang Widhi Waga (Tuhan Yang Maha Esa), serta kasih sayang kepada sarwa prani (makhluk hidup), untuk kesejahteraan dan kebahagiaan jagat raya. Dalam Arjuna Wiwaha tersebutlah sebagai berikut:

Sasiwimba haneng ghata mesi banyu,

Ndan asing suci nirmala mesi wulan,

Iwa mangkana rakwa kiteng kadadin,

Ring angambeki yoga kiteng sakala.

(Bagaikan bayangan bulan yang ada dalam periuk yang berisi air segala apa yang suci tanpa noda, berisi bulan. Bagaikan demikianlah keadaan Tuhan kepada semua makhluk. Kepada orang yang melaksanakan yoga Tuhan adalah nyata).

Di dalam ajaran sembahyang/yajna terkandunglah inti hakekat sebagai berikut:

a.   Yajna merupakan persembahan suci untuk kesejahteraan makhluk sebagai pelebur dosa serta sebagai alat atau jalan untuk kembali kepada Sang Hyang Sangkan Paraning Sarat (Tuhan yang menjadi asal serta tujuan jagat).

Yajna merupakan pengorbanan suci yang kekal abadi (yapa sanatanam).

    Petikan:        

YAJNA SISHTASINAH SANTO

MUCHYANTE SARVA KILBISHAIH

BHUNYATE TE TV AGHAM PAPA

YE PACHANTI ATMA KARANAT

Artinya:        

"Orang-orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari yajna, mereka itu terlepas dari segala dosa, akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingannya sendiri, mereka adalah makan dosanya sendiri".

(Bbagawad Gita III, 13).

EVAM PRAVARTITAM CHAKRAM

NA ‘NUVARTAYATT HA YAH

AGHAYUR INDRIYARAMO

MOGHAM PARTHA SA JIVATI

"Ia yang di dunia ini tidak ikut memutar roda (cakra) yajna yang timbal balik ini adalah jahat dalam alamnya, puas dengan indrianya dan ia O,Arjuna, hidup sia-sia. Cakra mulai digerakkan oleh Prajapati (Tuhan yang menguasai dunia atas dasar Weda dan Yajna)"

(Bhagawad Ghita III, 16).

b.   Yajna - upacara (persembahyangan).

Dari sudut filsafatnya, yajna adalah cara-cara untuk melakukan hubungan antara atman dengan parama-atma, antara manusia dengan Sang Hyang Widhi serta semua manifestasi-Nya dengan jalan yajna untuk mencapai kesucian jiwa. Untuk upacara ini dipakailah upacara sebagai alat penolong untuk memudahkan manusia menghubungkan dirinya dengan Hyang Widhi Wasa dalam bentuk yang nyata. Yajna pada dasarnya adalah pemberian secara tulus ikhlas sebagai penyaluran yang ikhlas untuk kepentingan bersama. Oleh karena Sang Hyang Widhi menciptakan manusia berdasarkan yajna, maka hendaknya manusia hidup memelihara dan mengembangkan dirinya atas dasar yajna pula sebagai suatu jalan yang benar dalam mengembalikan hutang budhi terhadap Sang Hyang Widhi. Ketentuan-ketentuan yang diketahui dalam melaksanakan dewa yajna:

  1. Tempatnya di pura atau di tempat-tempat yang baik dan bersih yang mempunyai suasana kesucian. Trisandhya atau persembahyangan yang rutin yang dilaksanakan tiga kali dalam sehari, dapat dilakukan dalam rumah ataupun di luar rumah dan di mana saja tempat yang dianggap wajar.
  2. Adanya sanggar surya sebagai pengganti padmasana atau bangunan suci tempat istana-Nya Sang Hyang Widhi Wasa.
  3. Diusahakan menghaturkan sesajen sebagai tanda terima kasih kita ke hadapan Sang Hyang Widhi. Kalau keadaan tidak mengizinkan hendaknya diambil tingkat yang sesederhana mungkin yakni paling minimal ada api, air bersih, dan bunga yang segar.
  4. Tempat sesajen harus indah sesuai dengan seni masing-masing sehingga dapat menggugah dan membawa jiwa kita ke arah kesucian.
  5. Diantar dengan puja sulinggih (pandita) atau pemuka agama. Disudahi dengan sembahyang dan ditutup dengan memohon air suci sebagai lambang anugrah Tuhan.

Persembahyangan bagi umat Hindu dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:

1)   Persembahyangan yang dilakukan tiap-tiap hari/Trisandhya. Trisandhya berasal dari bahasa Sansekerta. Tri artinya tiga, sandhya artinya hubungan/penyatuan. Trisandhya, berarti tiga kali mengadakan hubungan dalam sehari ke hadapan Sang Hyang Vidhi Waga (Tuhan Yang Maha Esa). Persembahyangan trisandhya dilakukan 3 (tiga) kali sehari, yaitu:

a). Pagi         ± jam 06.15 (terbitnya matahari).

b). Siang        ± jam 12.15 (mulai condong matahari ke Barat).

c).  Sore         ± jam 18.15 (mulai terbenamnya matahari).

Sembahyangan Trisandhya ini dapat dilakukan di rumah, di tempat bekerja, atau di tempat yang memungkinkan dapat membawa arah suasana kesucian. Bila tak dapat melakukan 3 (tiga) kali sehari, cukup sekali saja di antara ketiga waktu itu. Trisandhya juga dipakai pada waktu mulai sesuatu pertemuan keagamaan dan lain-lain.

Untuk membangkitkan dan menjamin suasana kesucian maka sebelumnya hendaknya melakukan sebagai berikut:

  • Mandi dengan air bersih.
  • Berpakaian yang bersih.
  • Tempat persembahyangan yang bersih.
  • Waktu menuju ke tempat sembahyangan/muspa pikiran sudah diarahkan ke hal-hal yang suci dengan lagu-!agu keagamaan.
  • Duduk dengan rapi yaitu pria dengan bersila dan wanita dengan bersimpuh.
  • Melakukan achamana yaitu membersihkan tangan dan mulut dengan air atau bunga (kembang).
  •  Mempersiapkan dupa, kembang ataupun kewangen.

2)   Persembahyangan yang dilakukan pada tempat-tempat dan hari-hari tertentu, misalnya perayaan di pura-pura, tiap-tiap purnama tilem dan hari-hari raya Hindu lainnya:

a)   Sembahyang bersama dengan diantar puja Sang Sulinggih.

b)   Sembahyang bersama dengan tidak diantar Pudja Sulinggih, Setelah pemangku (pemuka agama) selesai menghaturkan yajna dan saatnya mulai sembahyang maka pemuka agama itu memimpin persembahyangan.

c)   Persembahyangan yang dilakukan oleh perseorangan. Perlengkapan sama seperti di atas yaitu: air, dupa, bunga atau kewangen. Semua ini diletakkan di depan kita. Sikap sembahyang bagi laki-laki duduk bersila dan bagi wanita bersimpuh dengan menghadap ke tempat pelinggih/pura atau ke arah matahari terbit. Perlu dijelaskan bahwa persembahyangan perseorangan ini dilakukan sebagai permulaan tahap samadhi. Tegasnya bahwa sembahyang begini hanya dilakukan oleh seorang jika ia sudah menguasai tingkat samadhi dan akan melakukan samadhi sehabis bersembahyang.

  1. Syarat-Syarat Sembahyang/Yajna.

Adapun syarat-syarat utama dalam persembahyangan/yajna yang harus kita perhatikan dapat dibedakan atas dua bagian besar yaitu:

a.   wahya (lahiriah, sakala, nyata) harus ada unsur-unsur berikut antara lain:

  1. Badan jasmani yang telah disucikan yaitu mandi dengan air bersih, atau air bunga (kumkuman).
  2. Pakaian yang bersih, rapi, sopan.
  3. Alat-alat upacara persembahyangan seperti bunga, air dupa, canang, sesajen dan sebagainya harus dijaga kebersihannya, kesehatannya, kerapiannya, seni budaya, indah yang dapat menggentarkan rasa kesucian dan kehikmatan.
  4. Alat-alat upacara harus didapat secara dharma (jalan yang benar).

b.   Adhyatmika (bathiniah, niskala, tidak nyata) harus mengandung unsur-unsur antara lain:

  1. Rasa tulus ikhlas dalam melaksanakan yajna (korban suci).
  2. dengan kesadaran batin yang luhur, telah disucikan oleh ajaran Trikaya Parisudha yaitu Kayika (suci dalam pelaksanaan), Wacika (suci dalam kata-kata), dan Manacika (suci dalam pikiran).
  3. Cinta bhakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), serta kasih sayang kepada sarwa prani atau makhluk di alam semesta ini.
  4. Yajna (korban -suci) yang dilaksanakan itu, hendaklah ditujukan kejalan dharma kebenaran kesucian untuk kesejahteraan/ kebahagiaan makhluk alam semesta.
  5. Hendahklah berpegang kepada ajaran Tat Twam Asi yang berarti: Engkau adalah itu; Itu adalah Engkau; Engkau adalah Aku; Aku adalah Engkau. Hal mana ini merupakan rasa kesosialan yang mendalam dan meSuas.
  1. Peraturan Sembahyang/Yajna

Tentang peraturan sembahyang itu dapat dibedakan atas dua bagian benar yaitu:

  1. Trisandhya:

1)   Asana (sikap badan):

  1. Padmasana (cilacana)   yaitu duduk bersila bentuk padma atau bersila biasa bagi pria.
  2. Bajrasana yaitu sikap duduk bersimpuh (matimpuh) bagi wanita.
  3. Padasana yaitu sikap berdiri tegak lurus.
  4. Cawasana yaitu sikap tidur terlentang sebagai gawa (jenazah).

2)   Sikap tangan : kedua tangan diletakkan/dilekatkan di hulu hati/dada sebagai sikap memegang dupa.

  1. Muspa (kebhaktian).

1)   Asana (sikap badan).

  1. Padmasana (cilasana) yaitu duduk bersila bentuk padma, atau bersila biasa bagi pria.
  2. Bajrasana yaitu sikap duduk bersimpuh (matipuh) bagi wanita.
  3. Padasana yaitu sikap berdiri tegak lurus.
  4. Cawasana yaitu sikap tidur terlentang sebagai cawa (jenazah).

Sikap c) dan d) hanya digunakan dalam keadaan tertentu.

 

2)   Sikap tangan waktu menyembah/menghormat.

  1. Ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa, cakupan tangan diletakkan di atas dahi hingga ujung jari ada di atas ubun-ubun.
  1. Kepada Dewa-Dewa supaya ujung jari di dahi di antara kening.
  2. Kepada Pitara ujung jari supaya di ujung hidung.
  3. Kepada manusia tangan di hulu hati ujung jari ke atas.
  4. kepada Bhuta Tangan di hulu hati tetapi ujung jari mengarah ke bawah.
  1. Cara-Cara Sembahyang - Yajna

a.   Persembahyangan dapat dibedakan atas dua bagian utama yaitu:

1)   Trisandhya.

Trisandhya ialah sembahyang tiga kali sehari yaitu: waktu pagi, siang, sore (malam). Trisandhya dapat dilakukan di tempat suci ataupun di rumah setiap hari.

2)   Muspa (kebaktian).

Muspa (kebaktian) adalah persembahyangan yang dilakukan di tempat-tempat suci sebagai: pura, khayangan dan tempat suci lainnya. Persembahyangan dilaksanakan pada hari-hari suci, hari-hari raya, pawedalan (hari peringatan) dan lain-lain.

b.   Persiapan pendahuluan persembahyangan.

1)   Mempersiapkan diri dengan lahir batin yang telah disucikan. mandi dengan air bersih, kalau dapat dengan air wangi (kumkuman).

2)   Pakaian yang dipakai dalam persembahyangan hendaknya bersih, rapi, sopan, menuruti norma-norma kesusilaan dengan mengingat adat setempat.

3)   Menyediakan alat-alat upakara persembahyang antara lain: air, api, bunga, kawangen, dupa, canang, banten (sesajen) dan sebagainya. hal ini hendaklah diatur rapi, seni, bersih, sehat, indah, yang dapat menggentarkan suasana kesucian dan kekhidmatan.

4)   Bayu (tenaga), cabda (kata-kata), idep (pikiran) hendaknya dipusatkan ditujukan ke arah kesucian, keheningan, ketenteraman.

5)   Melaksanakan achamana yaitu membersihkan tangan dan mulut dengan air atau bunga.

c.   Macam persembahyangan

1)   Persembahyangan bersama.

a)   Dengan diantar/dipimpin oleh sulinggih/pandita. Adapun tinjauan/penjelasan umum dalam persembahyangan, setelah persiapan selesai adalah sebagai berikut:

1)   Pertama dengan tangan mulai dicakupkan diangkat ke dahi tanpa kembang (muspa kosong) yaitu untuk menenangkan pikiran dengan membayangkan Sang Hyang Widhi.

2)   Sembah selanjutnya ialah dengan tangan dicakupkan serta menjepit kembang atau kewangen sampai ke atas dahi mengikuti antaran puja sulinggih yang ditujukan kepada:

-    Hyang Surya Raditya sebagai saksi dalam persembahyangan(dengan bunga/kembang).

-    Hyang Widhi Wasa, memuja ke-Agungan-Nya serta memohon maaf dan memohon anugerah-Nya (dengan bunga/kembang).

-    Sarwa Dewata atau Dewa Samudaya yaitu para Dewa dan Bhatara-Bhatari leluhur untuk memintak tuntunannya (de­ngan kewangen).

3)   Sembah terakhir dengan tangan dicakupkan lagi tanpa kembang (muspa kosong) dengan maksud menerima limpahan anugerah Sang Hyang Widhi dan membayangkan Hyang Widhi kembali. Turun dan naiknya tangan diatur oleh mulai terhentinya suara genta sulinggih.

4)   menerima air suci (tirtha) dari Sang Hyang Widhi, sesuai dengan tuntunan sulinggih untuk dipercikkan ke ubun-ubun, diminum dan diraupkan ke muka sebagai wakil dari seluruh badan, dengan maksud mensucikan pikiran (idep), ucapan (pabda), perbuatan (bayu), secara berturut-turut dipercikkan untuk pensucian pikiran, diminum untuk kesucian ucapan, dan raupan untuk pensucian perbuatan.

5)   menerima bija (beras direndam air cendana) untuk dimakan dan ditempelkan di dahi sebagai simbul mendapat rejeki dari Sang Hyang Widhi Waca.

6)   menerima (mengambil) bunga, yang ada di tempat tirtha untuk disuntingkan guna menambah berserinya hati dan perasaan, setelah menghaturkan bhakti.

7)   bangun dengan tertib, diusahakan agar mulai dari belakang (barisan belakang).

b)   Persembahyangan bersama. Tanpa diantar/dipimpin sulinggih/pandita. Dapat dilakukan sebagai berikut:

  • Setelah pemangku atau pemuka agama selesai menghantarkan yajna dan tiba saatnya mulai sembahyang, maka pemuka agama mempersilahkan dimulainya sembahyang ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa dan seterusnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan persembahyangan (muspa).
  • Setiap pergantian naik turunnya tangan dapat diatur bait-bait kakawin (Arjuna Wiwaha dan sebagainya).
  • Persembahyangan biasanya dilakukan oleh umum pada waktu upacara "Dewa Yajna dan Bhuta Yajna", sedangkan pada waktu upacara "Manusa Yajna dan Pitra Yajna'' dan Rsi Yajna'' dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mempunyai sangkutan hubungan keluarga.

2)   Persembahyangan perseorangan

Ini dapat dilakukan pada waktu dan tempat yang dipilih sendiri dengan mengikuti tuntunan persembahyangan.

d.   Cara-cara memohon Tirtha (air suci)

Untuk mendapatkan air suci ada dua macam. Ada yang dibuat sendiri, ada yang didapat dengan memohon sendiri. Dalam agama Hindu sudah ada ketentuan bahwa hanya sulinggih, mereka yang sudah disucikan atau didiksa atau sudah didwijatikan yang berhak membuat air suci itu. Sedangkan mereka yang belum didiksa dan belum berhak melakukan loka phalacraya, yaitu memimpin umat dan bertanggungjawab atas upacara belum dibolehkan membuat air suci. Mereka hanya boleh me­mohon air suci, karena tidak sedikit syaratnya untuk membuat air suci itu.

Adapun untuk memohon air suci, ketentuan-ketentuan dan cara-caranya ialah:

  1. Pemohon harus sudah bersih lahir-batin.
  2. Berpakaian yang khusus untuk hal-hal yang suci.
  3. Menghadap ke arah terbit matahari atau gunung se tempat.
  4. Kedua tangan diangkat sampai ke atas kepala dengan memegang suatu tempat khusus untuk air suci, berisi bunga/kembang di dalam air itu dan dupa yang sudah dinyalakan dipegang.

Caranya ialah dengan memusatkan pikiran dengan puja permohonan:

"Om Anantasanaya naraah, 0m Padmasanaya namah.

OM IBA TA SA A, OM YA NA MA CI WA.

MANG ANG UNG NAMAH.

Om Aum Dewapratisthaya namah.

OM SA BA TA A I, OM NAMA O WA YA.

ANG UNG MANG NAMAH.

Om Gangga Saraswati Sindhu; Wipa?a Kaucikinadi.

Jamuna mahaprestha Sarayu ca mahanadi.

Om Ganggadewi mahapuniya, Gangga sahasramedhini.

Gangga - tarangga-samukta, Ganggadewi namo 'stute

Om Sri Gangga mahadewi tadupama - mrtanjiwani.

Ungkaraksara bhuwana-padamrta-manohara.

Om Utpatika surasanca, utpati tawa ghorasca.

Utpati sarwa-hitanca, utpatiwa sriwahinam.

Artinya:

"(Hamba memuja tempat (asana). Ia yang tanpa akhir, hamba memuja tempat (asana). Ia yang suci, bagi teratai. Semoga Hyang Widhi dengan kekuatannya yang menguasai sepuluh penjuru alam ini melindungi dan membangkitkan kekuatan suci (utpati). Hamba memuja ke Mahakuasaan Hyang Widhi (dalam manifestasi Trisakti (Ang Ung Mang).

Hamba memuja Hyang Widhi yang bersemayam di tempat ini (di air suci). Semoga Hyang Widhi dengan kekuatannya yang menguasai sepuluh pen­juru alam melindungi dan menegakkan kekuatan suci (sthiti) ini. Hamba memuja ke Mahakuasaan Hyang Widhi dalam manifestasi Trisakti (Ang Ung Mang). Hamba memuja Dikau O, Gangga, Saraswati, Sindhu, Wipaca, Kau?iki, Jamuna, Sarayu; Tujuh sungai suci yang agung dan membahagiakan;

Hamba memuja Dikau, Dewi Gangga yang mahasuci, Gangga sumber ribuan ilmu pengetahuan, yang bersatu dalam riak gelombangnya Gangga.

Dewi Gangga yang maha indah, Dikau adalah maha gaib dan merupakan air suci kehidupan abadi.

Dalam aksara suci Dikau adalah aksara U di dalam alam dari kaki-Mu mengalir amrta yang membahagiakan makhluk)". O Hyang Widhi, ciptakanlah (dalam air suci ini) kenikmatan rasa, kekuat­an suci serta ciptakan kegunaan dan bawakan kewibawaan untuk kesejahteraan semua makhluk".

Demikianlah maksud dari pemujaan memohon air suci yang merupakan amrta untuk membahagiakan semua makhluk.

e.   Proses pelaksanaan persembahyangan

Adapun pelaksanaan dari pada persembahyangan: Trisandhya dan Muspa (Pabhaktiyan) adalah sebagai berikut:

1)   Proses pelaksanaan persembahyangan Trisandhya.

a.     Asana, yaitu mengatur sikap duduk.

Padmasana (cilasana), yaitu sikap duduk bagi pria. bajrasana, yaitu sikap duduk bersimpuh (matimpuh) bagi wanita. Sikap tangan, diletakkan di dada seperti sikap memegang dupa waktu sembahyang. Mata dipejamkan diarahkan ke ujung hidung (agra-nacika).

b.     Pranayama: yaitu mengontrol jalannya prana (napas) dengan ucapan mantra:

"Om Ang Namah: Puraka, Yaitu menarik napas pelan-pelan.

Om Ung Namah: Kumbhaka, yaitu menahan napas.

Om Mang Namah: Recaka, yaitu mengeluarkan napas.

c.     Mengucapkan Mantram Cayatri/Trisandhya.

  1. Om Bhur Bhuvah Svah, tat savitur varenyam, Bhargo dewasya dhimahi, dhiyo yo nah pracodayat.
  2. Om Narayanad evedam sarvam, yad bhutam yagca bhavyam, niskalo nirjano nirvikalpo, nirakatah sudho dewo eko, Narayana na dvityo asti kacch.
  3. Om Tvam Siwah tavam Mahadewah Icvarah Paramesvara, Brahma Wisnucca Rudracca, Purusah Parikirtitah.
  4. Om Papo'ham papakarmaham, papatma papa sambhawah Trahinam Pundarikaksa, Sabahyabyantara cucih.
  5. Om ksamasva mam Mahadewah. Sarwa prani hitangkara Mam mocca sarwa papebhayah, Palayaswa Sada Siwa.
  6. Om Ksantavya kayika dosah, ksantavya wacika mama Ksantavya manasa dosah, Tat pramadat ksamaswa mam.

Om SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM.

Artinya:

  1. OM Hyang Widhi yang menguasai ketiga dunia ini, yang maha suci dan sumber segala kehidupan, sumber segala cahaya; semoga Hyang Widhi melimpahkan pada budi nurani kita penerangan sinar cahaya-Nya yang maha suci.
  2. OM Hyang Parama Kawi, dari Hyang Widhilah segala yang sudah ada dan yang akan ada di alam ini berasal dan kembali nantinya, Hyang Widhi adalah gaib, tidak berwujud, mengatasi segala kebingungan, tidak termusnahkan. Hyang Widhi adalah cemerlang, maha suci, Maha Esa dan tidak sekali kali ada dua-Nya.
  3. OM Hyang Widhi disebut juga Siwa, Mahadewa, Icwara, Parameswara, Brahma, dan Visnu dan juga Rudra. Hyang Widhi adalah asal mula dari segala yang ada. Demikianlah Hyang Widhi dipuja selalu.
  4. OM Hyang Widhi Hamba ini penuh dengan kenestapaan, perbuatan barupa penuh dengan kenestapaan, jiwa hamba juga penuh nestapa dan kelahiran hambapun penuh dengan kenestapaan.
  5. OM Hyang Widhi (Pundarikaksah), selamatlah hamba dari segala kenestapaan ini, semoga dapatlah disucikan lahir dan batin hamba. OM Hyang Widhi (Mahadewa), penyelamat segala makhluk ampunilah hamba. Lepaskanlah kiranya hamba dari segala kenestapaan ini dan tuntunlah hamba, selamatkanlah dan lindungilah hamba, O Hyang Widhi (SadaSiwa).
  6. OM Hyang Widhi, ampunilah segala dosa yang berasal dari perbuatan hamba, ampunilah dosa dari ucapan hamba dan ampunilah pula dosa dari pikiran hamba. Ampunilah atas segala kelalaian hamba itu. O Hyang Widhi, semoga damai di hati, damai di dunia damai selalu.

f.    Proses pelaksanaan persembahyangan (muspa)

Adapun pelaksanaan dari pada muspa (pabhaktiyan) adalah sebagai berikut:

1)    Bukalah tutup kepala, agar ubun-ubun yang dianggap sebagai Siwadwara atau pintu Hyang Widhi tidak terhalang.

2)    Laksanakan asana (padmasana, cilasana, bajrasana), dengan tenang serta lahir batin yang disucikan, lalu pusatkan pikiran dengan mantra:

"Om Prasadhasthiti Carira, Siwa suci nirmalaya namah".

(O, Hyang Widhi hamba puja Hyang Widhi dalam wujud Siwa sucidan tak bernoda, hamba telah duduk tenang).

3)    Cucikanlah tangan dengan air atau bunga dengan puja; untuk tangan kanan: "Om kara coddhaya mam svaha";

(O, Hyang Widhi semoga sangat disucikan tangan kami).

Untuk tangan kiri: "Om kara ati coddhaya mam syaha".

(O, Hyang Widhi semoga sangat disucikan tangan kami).

4)    Bersihkan mulut dengan berkumur air serta puja:

"Om vaktra-coddhaya mam syaha".

(O, Hyang Widhi, mohon dibersihkan mulut hamba).

5)    Ambil dupa yang telah dinyalakan, pegang setinggi hulu hati dengan tangan berbentuk kojong dan mengucapkan mantra:

"Om Ang Dipastraya namah swaha".

(O, Hyang Widhi, Brahma hamba mohon ketajaman sinar-Mu menyaksikan dan mensucikan sembah hamba).

6)    Mulailah sembahyang atau muspa sebagai ketentuan-ketentuan di atas dengan catatan bahwa setiap muspa kosong sebelum tangan diangkat keduanya harus diasepi di atas dupa terlebih dahulu dengan mantra:

"Om Kara soddhaya mam swaha"

Demikianlah juga bunga atau kewangen yang akan dipakai muspa harus diasapi dengan mantra:

“Om puspa dantaya namah swaha”.

(O, Hyang Widhi hamba memohon, jadikanlah bunga ini suci).

g.   Sembahyang: "muspa"

1)    Muspa kosong.

Hanya dua telapak tangan. dicakupkan tanpa bunga dengan puja:

“Om atma tattwatma coddhaya mam svaha”.

(O, Hyang Widhi yang merupaka Atma dari atma tattwa sucikanlah hamba).

2)    Muspa dengan bunga ditujukan pada Siwa Raditiya yaitu manifestasi Hyang Widhi sebagai matahari, untuk menyaksikan dan mengantarkan sembah kita. Puja matranya ialah:

“Om Aditiyasya paramjyoti rakta tejo namo stute.

Cweta pangkaja mandhyaste bhaskaraya namostute.

Om pran amya bhaskara dewam, sarwa kleca vina canam.

Pranamyaditiya Siwartham, muktimukti vara pradam.

Om rang, ring, sah Parama Siwaditiya.

Artinya:

(O, Hyang Widhi hamba sembah Hyang Widhi dalam manifestasi sinar Surya yang merah cemerlang, berkilauan cahaya-Mu Engkau putih suci bersemayam ditengah-tengah laksana teratai; Engkaulah Bhaskara (sumber cahaya), yang hamba puja selalu).

(O, Hyang Widhi sumber cahaya segala sinar, hamba menyembah-Mu agar segala dosa dan kotoran yang ada pada jiwa hamba menjadi sinar binasa, karena Dikau adalah sumber bhukti dan mukti, kesejahteraan hidup jasmani rokhani. Hamba memuja-Mu, O Hyang Widhi Parama pwaditiya. Setelah selesai tangan diturunkan, bunga atau kewangen dibuang perlahan di hadapan kita.

3)    Muspa dengan bunga atau kewangen ke hadapan Hyang Widhi Waca dengaa puja:

"Om nama Dewa adisthanaya, sarwa wyapi waysivaya.

Padmasana eka pratisthaya, Ardhanarccwarya namo namahswaha".

(O, Hyang Widhi, hamba memuja-Mu sebagai Dewa sumber sinar yang bersinggasana paling utama, hamba memuja-Mu sebagai Siwa Penguasa semua makhluk, hamba memuja-Mu sebagai satu-satunya penegak segala yang bersemayam di Padmasana. Hamba memujamu-Mu Siwaraditiya dan hamba puja Hyang Widhi sebagai Ardhana-recwari (perwujudan tunggal laki-perempuan).

4)    Muspa dengan bunga ke hadapan Hyang Widhi memohon keselamatan dan kesejahteraan bangsa dengan puja:

(Catatan : digunakan hanya pada waktu-waktu tertentu).

"Om Brahma Visnu Icwara dewa.

Jiwatmanam Trilokanam.

Sarwa jagat pratisthanam.

Sarva roga wimurcitam.

Sarva roga winacanam.

Wighna deja winapanam.

Om nama siwaya".

(O, Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai pencipta, pemeliharaan dan pemralina serta sebagai jiwa dari ketiga dunia ini. Semoga seluruh alam/negara menjadi langgeng. Semua penyakit semoga menghilang. Semua penyakit binasa. Semua halangan semoga binasa. Semua bahaya semoga menghilang. Semoga binasa semua perintang yang ada di negara kami. Semoga Hyang Widhi memberkahi).

5)    Muspa dengan kewangen ditujukan kepada Hyang Widhi guna mohon anugraha dengan puja:

"Om Anugraha manoharam, dewa datta nugrahakam.

hyarchanan sarwa pujanam, namah sarwa nugrahakam.

Dewa-Dewi maha siddhi, yajnika tamulat idam.

Laksmi siddhicca dirghayuh nirwighna suka wrdhitah.

Om ghring anugraharchanaya namo namah swaha.

Om ghring anugraha manoharaya namo namah swaha".

(O, Hyang Widhi limpahkanlah anugrah-Mu yang menggembirakan pada hamba-Mu. Hyang Widhi maha pemurah yang melimpahkan segala kebahagiaan, yang dicita-citakan serta dipuja-puji dengan segala pujian, hamba puja Hyang Widhi yang melimpahkan segala macam anugerah.

Hyang Widhi sumber kesidian semua dewata, yang semuanya berasal dari korban suci kasih sayang-Mu. Limpahkanlah kemakmuran, kasidian dan umur panjang serta keselamatan dan kebahagiaan selalu.

Hamba puja Dikau untuk dianugerahi kebhaktian tinggi. Hamba puja Dikau untuk dianugerahi kebahagiaan.

6)    Muspa kosong, dengan tujuan menghaturkan suksma (terima kasih) atas anugerah yang telah dilimpahkan dan membayangkan Hyang Widhi kembali ke asal dengan puja:

"Om Dewasukma Parama akchintiya ya nama swaha".

"Om SANTIH, SANTIH, SANTIH Om".

(O, Hyang Widhi hamba memuja-Mu dalam wujud sinar suci yang gaib serta wujud. maha Agung yaag tak dapat dipikirkan. Semoga semuanya damai dihati, damai didunia, damai selalu O, Hyang Widhi).

Dengan ini berakhirlah rangkaian muspa, yang disusul dengan memohon tirtha (air suci yang dipuja oleh sulinggih), dan wasuh pada (air suci pencuci kaki Hyang Widhi) yang dipercikan, diminum dan diraupkan masing-masing tiga kali dengan mantra:

"Om Prathama suddha, dvitiya cuddha, tritiya cuddha cuddha, cuddham vari astu".

(Pertama suci, kedua suci, ketiga suci, suci-suci, semoga suci dengan air suci ini).

Yajna (pengorbanan suci), sebagian dari pada agama/dharma, merupakan suatu kesatuan yang saling jalin menjalin secara harmonis antara yang satu dengan yang lainnya, dalam pelaksanaan agama/dharma. Demikian pula halnya antara yajna-yajna sendiri:

  1. Panca marga yajna (Drwya, Tapa, Yoga, Swadhyaya, Jaaaa) yajna.
  2. Panca yajna (Dewa, Pitra, Manusa, Rsi, Bhuta) yajna.
  3. Nitiya-karma yajna dan naittika karma - yajna.

Semua yajna-yajna ini sangat erat hubungannya hingga merupakan suatu kesatuan, dalam pelaksanaan agama.

Misalnya pada Hari Suci/Hari Raya Galungan, meskipun dikatakan Dewa Yajna yang ditonjolkan, namun yajna-yajna yang lainnya seperti: Pitra, Manusa, Rsi, dan Bhuta Yajna ikut pula dilaksanakan. Hal ini dapat dibandingkan dengan Dasar Falsafah Negara "Pancasila", merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan.

Dalam Bhagawad Gita III, 14, tersebutlah betapa erat hubungannya antara makhluk alam semesta:

"ANNAD BHAVANTI BHUTANI

PARJANYAD ANNASAMBHAVAH

YAJNAD BHAVATI PARJANYO

YAJNAD KARMA SAMUBHAVAH"

(Dari makanan makhluk menjelma, dari hujan lahirnya makanan, dandari yajna muncullah hujan, dan yajna lahir dari pekerjaan). Menyinggung masalah kesatuan dalam pelaksanaan persembahyangan hal ini adalah indentik dengan sembahyang bersama yang merupakan suatu "kesatuan". Secara rohani tentang kesatuan dalam pelaksanaan sembahyang/yajna, adalah tetap pada nilai yang berupa: “Kesucian khidmat, cinta bhakti ke hadapan Sang Hyang Widhi Waca (Tuhan), yang dipuja dengan kesucian wahya (lahir) dan adhyamika (batin).

Mewujudkan pelaksanaan agama menuju ke arah: “Kesatuan, kerukunan, kerharmonisan, ketentraman dengan kesadaran budhi, rasa, keluhuran bahwa manusia dan makhluk merupakan kesatuan yang bersumber pada Tuhan”. Sesuai dengan ajaran: “Tat Tvam AsI” (itu adalah Engkau), dan Brahma Atma Aikyam (Brahma dan Atma adalah tunggal).

C.    Budi Pekerti (Susila/etika)

Tata Susila adalah kerangka kedua dari agama Hindu. Etika berasal dari kata ethos (bahasa Junani) yang berarti budhi. Selanjutnya etika adalah merupakan tata susila yang mengandung arti peraturan tingkah laku (budhi pekerti) yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia dalam bertingkah laku. Tujuan tata susila adalah untuk membina perhubungan yang selaras atau harmonis dan rukun antara manusia yang satu dengan yang lainnya, demikian pula dengan sesama makhluk hidup di sekitarnya. Perhubungan yang selaras antara keluarga, antara masyarakat dengan masyarakat, antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya, akan menyebabkan adanya tata kehidupan yang aman dan sentosa. Sesuatu keluarga atau masyarakat maupun bangsa yang anggota-anggotanya hidup tidak rukun atau tidak harmonis, pasti akan runtuh atau ambruk. Perhubungan yang selaras, rukun dan harmonis itu adalah juga sebagai sumbernya kebahagiaan.

Sedangkan hubungan-hubungan yang kacau dan tidak rukun atau tak harmonis adalah merupakan sumber malapetaka. Tata Susila membina watak manusia  untuk menjadi anggota keluarga atau masyarakat dan bangsa yang baik serta menjadi manusia berpribadi mulia dan membimbing mereka untuk mencapai kebahagiaan hidup lahir batin.

Selain itu pula tata susila juga menuntun seseorang untuk menyelaraskan hubungan dirinya dengan makhluk sesamanya, dan akhirnya menuntun mereka dapat mencapai kesatuan jiwatma dengan parama atma (Sang Hyang Widhi Wasa) menurut ajaran etika agama Hindu.

Dasar dari tata susila Hindu.

Agama adalah sumber atau dasar dari tata susila yang kokoh dan kekal, ibarat landasan dari suatu bangunan, di mana bangunan itu harus didirikan. Jika landasan itu tidak kuat, maka mudah benar bangunan itu roboh. Demikian juga halnya dengan tata susila, bila tidak dibangun atas dasar agama sebagai landasan yang kokoh dan kekal, maka tata susila itu tidak mendalam dan tidak meresap dalam diri pribadi manusia. Justru karena itu maka ajaran-ajaran tata susila Hindu ini didasarkan atas ajaran kerohanian dalam agama Hindu sendiri misalnya dari kitab-kitab Suci Weda, dari ajaran-ajaran: Tattwa-Jnana (filsafat), dari kitab-kitab Smrti (misalnya Upanishad-upanishad, Dharma Sastra), serta dari Wira cerita dan lain-lainnya.

Di dalam Upanishad ada disebutkan: "Brahma Atman Aikyam", yang artinya: Brahma (Hyang Widhi) dan Atma (jiwatma) adalah tunggal. Oleh karena jiwatma semua makhluk tunggal dengan Brahma (Hyang Widhi) maka jiwatma semua makhluk tunggal juga dengan semua jiwatma dan pada makhluk-makhluk lainnya. Demikian pula halnya jiwatma kita sebagai manusia. Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) berada di mana-mana dan tunggal serta menjadi sumber hidup dari segala ciptaan-Nya, Kalau diumpamakan sebagai matahari yang menyinari segala pelosok-pelosok meskipun banyak hal-hal atau benda-benda yang membatasinya, misalnya tembok-tembok, mendung dan lain sebagainya, namun sinarnya itu tetap memberi penerangan dan panas terhadap segala isi dari pada alam semesta ini.

Begitulah jiwatma dalam semua makhluk yang walaupun diasingkan satu dengan lainnya oleh badan-badan yang berbeda-beda namun pada dasarnya adalah dihidupkan oleh satu sumber yang mutlak yaitu Sang Hyang Widhi. Keinsyafan akan tunggalnya jiwatma semua makhluk dengan jiwatman kita sendiri, maka kita akan merasakan dengan renungan kebijaksanaan bahwa kita sebenarnya adalah satu yang sama dengan makhluk lainnya. Oleh karena itu maka kitapun wajib melakukan amal kewajiban terhadap sesama manusia dan terhadap makhluk lainnya, serta selalu berusaha untuk dapat mempersatukan atma sendiri dengan Sang Hyang Widhi (Tuhan).

Berlaku baik atau buruk terhadap orang lain, ini berarti juga berlaku baik atau buruk terhadap diri sendiri. Sebagai contoh misalnya: bila tangan kita luka maka bagian badan yang lainnya juga akan ikut merasakan sakitnya.

Di dalam Chandogya Upanishad ada disebutkan: "Tattwamasi". Tat berarti itu atau dia. Twam berarti engkau/kamu dan Asi berarti adalah. Jadi "Tat Twam Asi" berarti: dia adalah engkau (juga). Tat Twam Asi adalah kata-kata dalam filsafat Hindu, yang mengajarkan kesosialan yang tanpa batas, karena diketahui bahwa ia adalah kamu saya adalah kamu dan segala makhluk adalah sama sehingga kalau menolong orang lain berarti menolong diri sendiri. Jiwa sosial ini juga harus diresapi oleh sinar-sinar tuntunan kesucian Tuhan Yang Maha Esa. Di samping merupakan jiwa kesosialan, filsafat hidup Tat Twam Asi ini merupakan juga dasar dari ajaran tata susila Hindu. Susila adalah tingkah laku baik dan mulia yang selaras dan rukun antara sesama hidup dengan semesta alam yakni hubungan-hubungan harmonis serta rukun antara sesama manusia dengan semesta alam ini. Kita mengenal ajaran "Catur Purusa Artha" yang artinya: empat tujuan hidup manusia yang utama yaitu:

Dharma =    Penuntun tentang kebenaran lahir batin.

Artha     =    Benda-benda materi/kekayaan sebagai sumber

                     kebutuhan duniawi.

Kama     =    Kesenangan/kepuasan hidup duniawi.

Moksa    =    Ketenangan dan kebahagiaan spirituil yang kekal

                     abadi (suka tan pawali duka).

Dalam usaha kita untuk dapat mencari/mencapai Artha, Kama dan Moksa itu, maka kita harus selalu berpegang pada dharma. Dan untuk menegakkan dharma itu maka pertama-tama kita harus benar-benar dapat melaksanakan mawas diri lahir batin yakni: terus memupuk yang baik-baik dan membuang segala yang buruk-buruk menurut ketentuan-ketentuan dari norma-norma susila agama. Di samping itu maka kitapun harus dapat pula menuruti serta mengamalkan norma-norma yang me­rupakan sumber pendidikan budhi pekerti (etika) itu dengan sebagaimana mestinya. Tentang hal-hal tersebut maka pada pokok-pokoknya antara lain adalah sebagai berikut:

1)     Tri Guna.

Tri Guna adalah tiga macam nilai-nilai yang selalu ada hubungannya dengan karakter atau aktipitasnya makhluk-makhluk hidup khususnya pada manusia sendiri yaitu:

Satwam :     Berarti sifat-sifat yang benar, tenang dan suci atau        sifat-

                     sifat yang baik pada manusia dan makhluk lainnya.

Rajah     :     Berarti sifat-sifat yang merupakan sumber tenaga          penggerak untuk dapat mengerjakan sesuatu yang   menyebabkan makhluk itu aktif dalam hidupnya.

Tamah   :     Berarti sifat-sifat yang penuh berdasarkan hawa nafsu   yang menyebabkan makhluk-makhluk itu berada alam kegelapan dan kemalangan-kemalangan serta penuh dosa lahir batin.

Kalau Satwam dalam keseluruhannya itu, menguasai rajas dan tamas menyebabkan orang cenderung kepada dharma (kebaikan) dan dapat mencapai sifat-sifat kesucian. Kalau rajas yang berkuasa menyebabkan orang aktif berbuat yang lebih cenderung kepada keduniawian. Kalau tamas yang berkuasa menyebabkan watak seorang cenderung kepada adharma yaitu kebodohan, kemalasan, kejahatan yang penuh dosa dan lain-lain. Sebagai umat Hindu yang beretika dan berrohani maka kita harus selalu mengusahakan agar satwam itu dapat menguasai yang lainnya (rajas dan tamas) itu.

Petikan:       

"Urdhawam gacchanti sattvastha madhye tisthanti rajasah, jaghanya guna vrttistha adho gacchanti tamasah" (Bhagawad Gita XIV. 18).

Artinya:

"Mereka yang selalu menegakkan; budi sattwam, selalu akan meningkat ke arah yang lebih tinggi, mereka yang selalu bersifat rajas akan tetap berada di tengah-tengah saja; dan mereka yang tetap bersifat tamas selalu akan semakin menurun nilai hidup dan rohaninya.

Semua hal yang tersebut di atas tadi adalah ajaran-ajaran yang merupakan dasar bagi setiap laksana kita dalam berlaku susila. Dasar-dasar ini perlu kita ketahui untuk dapat berlaksana yang baik dan menghilangkan segala musuh yang ada di hati sendiri. Bila kita lengah maka musuh itu akan dapat mengakibatkan kehancuran bagi kita. Maka kita harus berusaha sekeras-kerasnya untuk dapat menaklukkan musuh-musuh yang ada di dalam diri kita sendiri. Musuh-musuh itu antara lain:

  1. Sad - ripu (sad = enam; ripu = musuh ) yaitu:
    1. ama       = Sifat-sifat penuh diselubungi hawa napsu.

Loba         = Sifat-sifat yang loba dan tamak.

Krodha    = Sifat-sifat yang kejam dan marah.

Mada        = Sifat-sifat yang mabuk atau kegila-gilaan.

Moha        = Sifat-sifat yang bingung dan angkuh.

Matsarya = Sifat-sifat yang dengki dan iri hati.

b).    Sadatatayi (sad = enam; atatayi = pembunuh/kejam) yaitu:

Agnida          =    Sifat-sifat yang senang membakar atau menghancurkan menghancurkan milik orang lain.

Wisada           =     Sifat-sifat yang senang meracun atau menyakiti orang lain.

Atharwa     =     Sifat-sifat yang senang mempraktikkan ilmu hitam.

Sastraghna   =    Sifat-sifat yang senang merampok dan  mengamuk.

Dratikrama   =    Sifat-sifat yang senang doyan memperkosa (gadis).

Rajapisuna   =    Sifat-sifat yang senang menfitnah/menghasut atau mengadu domba.

c).    Sapta timira (sapta = tujuh ; timira = kegelapan/mabuk yaitu:

Surupa      =      Kegelapan yang disebabkan oleh rupa yang tampan.

Dhana          =    Kegelapan yang diakibatkan oleh harta kekayaan.

Guna          =      Kegelapan yang diakibatkan oleh kepandaian/keakhlian.

Kulina       =      Kegelapan yang diakibatkan karena kebangsawanan.

Yowana     =      Kegelapan yang disebabkan oleh keremajaan.

Sura           =      Kegelapan yang diakibatkan oleh minum

                          alkohol.

Kafuran    =      Kegelapan yang disebabkan oleh keperwiraan dan kekayaan atas kemenangan itu.

Inilah antara lain musuh-musuh yang ada di dalam diri kita yang semuanya itu jelas disebutkan dalam pustaka suci kita. Senjata yang paling ampuh untuk dipakai memerangi musuh-musuh itu adalah "Tri Kaya Parisudha". Tri Kaya artinya tiga macam usaha perbuatan manusia. Parisudha artinya yang harus disucikan sebaik-baiknya. Tri Kaya Paricudha berarti tiga dasar dan perilaku manusia yang harus disucikan dengan sebaik-baiknya yaitu:

Manahcika    =        Berpikir yang benar dan suci.

Wacika          =        Berkata yang benar dan benar.

Kayika          =        Berbuat yang benar dan suci.

Dengan adanya pikiran yang benar akan timbul perkataan yang benar pula sehingga mewujudkan perbuatan yang benar juga. Maka itu haruslah kita pupuk kesatuan pikiran, perkataan dan perbuatan yang baik dan suci itu sebagai dasar dari perilaku kita sebagai umat yang bersusila.

Dari Tri Kaya Paricudha timbullah sepuluh pengendalian diri yaitu tiga macam berdasarkan pikiran, empat berdasarkan perkataan dan tiga macam berdasarkan perbuatan, yakni:

a)     Tiga macam yang berdasarkan pikiran yaitu:

Tidak mengingini sesuatu yang tidak halal.

Tidak berpikiran buruk terhadap makhluk lain.

Tidak mengingkari akan karma phala.

b)    Empat macam berdasarkan perkataan yaitu:

Tidak suka mencaci maki.

Tidak berkata kasar.

Tidak memfitnah.

Tidak ingkar pada janji atau ucapan.

c)     Tiga macam yang berdasarkan perbuatan yaitu:

Tidak menyiksa/menyakiti makhluk lain.

Tidak melakukan kecurangan.

Tidak berzinah.

2)     Panca Yama Brata.

Di samping pengendalian atau larangan yang berdasarkan "Tri Kaya Parisudha" itu, ada lagi tuntunan susila yang lebih banyak perinciannya yang disebut "panca yama brata" yaitu: lima macam pengendalian diri dalam hubungan perbuatan yakni:

  1. Ahimsa, artinya tidak menyiksadan membunuh makhluk dengan sewenang-wenang.
  2. Brahmacari, artinya aturan-aturan tentang melakukan hubungan kelamin. Brahmacari ini dalam tinjauan fisafatnya agama, adalah mengandung pengertian bahwa setiap umat ini harus selalu berguru Tuhan. Sedangkan Brahmacari ini dalam hubungan sosialnya ada tiga macam yaitu; cukla brahmacari (tidak pernah berhubungan kelamin atau kawin); sawala brahmacari (kawin hanya sekali saja); dan kresna brahmacari (kawin lebih dari pada sekali, tetapi terbatas hanya sampai empat kali saja dan si suami sendiri harus dapat menjamin semua istri dan anak-anaknya).
  3. Satya, artinya setia akan janji dan selalu jujur yang menyebabkan senangnya orang lain.
  4.  Awyawaharanika, artinya melakukan usaha-usaha yang selalu bertujuan untuk kedamaian serta luput dari percekcokan dan pertengkaran.
  5.  Asteya, artinya tidak mencuri atau menggelapkan harta milik orang lain.

3)     Panca Niyama Brata.

Panca Niyama Brata adalah lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental yaitu:

  1. Akrodha, artinya tidak dikuasai oleh sifat-sifat kemarahan.
  2. Guru susrusa, artinya selalu bersifat hormat, taat dan tekun melaku­kan ajaran-ajaran guru.
  3. Sauca, artinya kesucian lahir batin.
  4. Aharalaghawa, artinya menyederhanakan makan dan minum atau kebutuhan-kebutuhan materiil lainnya.
  5. Apramada, artinya tidak bersifat angkuh dan tekebur.

Panca Yama Brata dan panca niyama brata ini disebutkan dalam Slokantara sebagai ajaran Dasa-Si1a.

Demikianlah antara lain adanya perincian tentang tuntunan-tuntunan yang perlu diketahui dan dilaksanakan untuk meningkatkan kesusilaan hidup yang merupakan jaminan akan tercapainya hidup kerohanian yang tinggi dan keharmonisan hidup dalam masyarakat dalam negara Pancasila.

  1. Toleransi dan Kerukunan Umat Beragama Menurut Hindu

Menurut ajaran pustaka suci Weda dan Smrti dijelaskan bahwa jagat raya (alam semesta beserta isinya adalah yajna (korban suci) dari Sang Hyang Widhi Wasa' (Tuhan Yang Maha Esa). Alam semesta ini disebutkan "Brahmanda" (Telur Brahma) maksudnya ialah bahwa adanya jagat raya serta sarwa prani (makhluk) ini muncul dari Brahma (Tuhan) secara bertahap-tahap (evolusi), dari yang niskala (halus, tidak nyata) sampai kepada yang sakala (kasar, nyata).

Tuhanlah yang mengadakan Tri1oka (bhuana agung/macrocosmos) yaitu bhur, bhuah, swah, dan Tuhan yang menghidupkan bhuana alit (microcosmos) yaitu manusia sebagai alam kecil, yang secara bagian besarnya terdiri dari atma (jiwatma). Sukma sarira (badan halus), dan raga sarira (badan kasar).

Dalam Bhagawad Gita X, 8 tersebutlah:

AHAM SARVASYA PRABHAVO

MATTAH SARVAM PRAVARTATE

ITI MATVA BHAYANTE MAM

BUDDHA BHAVASAMANVITAH

(Aku adalah asal dari semua, dari Aku makhluk muncul, mengetahui ini orang banyak sama menyembah Aku dengan penuh rasa penyatuan).

"Wyapi wyapaka sarining parama tattwa durlabha kita

Icchantang hana tan hana ganal alit lawan hala hayu

Utpatti sthiti linaning dadi kita ta karananika

Sang sangkan paraning sarat sakala niskalatmaka kita"

(Arjuna Wiwaha)

(Meresapi serta memenuhi inti sari kebenaran utama, bersifat rahasialah Engkau. Atas kehendak Mu lah ada dan tiadanya yang besar dan kecil, buruk dan baik. Lahir, hidup, dan matinya makhluk Engkaulah sebabnya. Engkau adalah asal dan tujuan kembalinya jagat. Engkau adalah Atma utama di alam sakala-niskala).

Jelaslah bahwa Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) telah beryajna melaksanakan korban suci mengadakan jagat serta sarwa prani termasuk manusia. Dalam hubungan ini umat manusia merasa berhutang jiwa berhutang budhi kehadapan Tuhan yang memberi Atma (Jiwatma) kepada makhluk. Tuhan adalah Parama-Atma sumber Atma. Dalam diri manusia ada jiwatma (benih suci) yang sifat-sifatnya sama dengan Parama-Atma (Brahman). Makadari itu manusia harus sadar dan berusaha merasakan tabir maya, tabir Awidya (kegelapan) dalam berbagai bentuk yang meliputi jiwatma melalui ajaran Dharma, Tapa brata, Yoga, dan Samadhi. Jiwatma adalah Tunas dari diri manusia dan raga sarira seakan-akan tempat suci. Oleh karena itu haruslah manusia menjaga kesucian lahir batin untuk dapat menghubungkan diri sebaik-baiknya dengan Tuhan menuju kesempurnaan.

Adapun pembalasan budhi terhadap Kemaha pemurahaan dan Keraaha pengasihara Tuhan dilaksanakan oleh manusia dengan jalan yaps, sesuai dengan ajaran Dharma, mengadakan pemujaan, penghormatan, persembahyangan, pengabdian kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Karena Tuhan meng­adakan jagat dengan jalan yajna, maka manusia dengan jalan yajna pula memuja kepada Tuhan serta segala manifestasi-Nya. Kalimat-kalimat Titama dalam pustaka suci memberi semangat kepada umat manusia untuk beryajna yang sesuai dengan Dharma:

"Tat twam Asi" yang artinya: " itu (semua) adalah Engkau", Tuhan adalah semua ini. Dikaulah semua itu. Semua makhluk adalah Engkau". Tuhan adalah semua ini. Dikaulah semua itu. Semua makhluk adalah Engkau. Engkaulah awal mula jiwatma dan zat (prakrti) semua makhluk. Aku ini adalah makhluk yang berasal dari Mu. Oleh karena itu jiwatmaka dan prakrtiku tunggal dengan jiwatma semua makhluk. Oleh karena itu: Aku adalah engkau, Aku adalah Brahma. "AHAM BRAHMA ASMI" (Brihad-aranyaka upanisad). Menurut ajaran Upanishad tutur-tutur, dan Bhagawad Gita dikatakan bahwa ada satu Atma yang memberi hidup kepada semua makhluk dan menggerakkan alam semesta yang disebut: Parama-Atma.

Adapun atma yang terdapat dalam diri tiap-tiap makhluk adalah bagian dari Parama-Atma itu. Bagian Parama-Atma yang ada di dalam diri manusia disebut dengan jiwatma. Karena kita manusia terdiri dari pada tiga bagian utama : Atma (jiwatma), Suksma Carira (badan halus), dan Raga Carira (badan kasar), maka haruslah bayu (tenaga), sabda (kata-kata), idep (pikiran) disucikan dengan Trikaya Paricudha.

Manusia yang mempunyai Suksma Farira (badan halus) yang antara lain terdiri dari Buddhi, manah, ahamkara, haruslah dapat menggunakan daya pikir dan kesadaran daya akal dan rasa, daya gerak dan karya untuk tujuan Dharma berbakti kepada Tuhan dengan jalan melaksanakan sabda suci (wahyu-Nya) yang tersirat dalam Weda dan Smrti.

YATNA PRAKASAYATI EKAH

KRITNAM LOKAM SAM RAVIH   

KSHETRAM KSHETRITATHA KRITSNAM

PRAKASAYATI BHARATA Bhagawad Gita XIII, 33).

(Bagaikan satu matahari menerangi seluruh dunia, demikian juga Para-matma (Hyang Widhi) dari alam semesta menerangi (memberi hidup) seisialam (semua makhluk), wahai Arjuna).

Tujuan hidup terakhir ialah penunggalan Jiwatma dengan Parama-Atma (Brahman).

  1. Hubungan Manusia Dengan Ciptaan Tuhan.

Di dalam persoalan hubungan manusia dengan makhluk dalam pengertian yang luas maka menurut ajaran agama Hindu dibagi atas bagian-bagian antara lain:

a. Hubungan manusia dengan pitra/leluhur.

Kata pitra berarti roh leluhur. Kita manusia berhutang budi kepada pitra (pitra rnam). Adanya kita sebagai manusia adalah melalui perantara ayah-bunda/leluhur. Kita berhutang jasmani, rohani, pendidikan, jasa, sandang pangan kepada mereka. Untuk membalas budi menghormati dan mengenang jasa-jasanya, patutlah kita melaksanakan yajna lahir batin dengan ikhlas rela kepada mereka, kasih sayang, hormat, menolong dalam berbagai pekerjaan, menuruti nasehat-nasehat-nya, mengadakan pitra puja, menyelenggarakan perawatan jenazah sampai tingkat penyelesaian: sawa prateka, asti wedana, dan atma wedana.

Di dalam Wiracarita-Mahabharata bagian ketiga (wana parwa), dalam soal jawab antara Yaksa dengan Yudisthira antara lain seperti berikut:

Yaksa bertanya:

1) Apakah yang lebih berat dari pada bumi?

2) Apakah yang lebih tinggi dari pada langit?

Yudisthira menjawab:

1) Ibu lebih berat dari pada bumi.

2) Bapak lebih tinggi dari pada langit.

Dalam pustaka suci Sarasamucchaya, 195 dan 196:

"Kuneng yan Bapa Ibunta sira maminta dana, yadyan huripta towi, sungakena juga ri sira, apan sira humana kenika".

(Apabila ayah-bunda yang meminta, biar jiwa sekalipun yang diminta berikanlah kepadanya sebab merekalah yang mengadakan kamu).

"Apayapan agong ikang duhkha kabhukti denira; ngunin hana ring garbha, sarwadaya hutangga ika sakareng, yaya tan kawenang nya sahurenta catus tahun".

(Bahwa amat besarlah kesakitan yang dirasakan oleh si ibu ketika melahirkan kita. Sekarang kita berhutang segala-galanya kepadanya yang tak akan terbalaskan sampai seratus tahun (seumur hidup).

Dalam Ramayana tersebut:

"Gunamanta sang Dayaratha, wruh stra ring Weda bhakti ring Dewa tar malupeng pitra puja, masih ta sireng swagotra kabeh"; (Amat bijaksanalah sang Dacaratha, tahu beliau tentang Weda dan bhakti kepada Tuhan. Tiada lupa menghormati pitra, kasih sayang beliau kepada kaum keluarga semua).

Jelaslah betapa erat hubungannya antara pitra dengan manusia untuk mencapai kesempurnaan.

b. Hubungan manusia dengan manusia lain.

Sang Hyang Widhi Wasa telah beryajna mengadakan jagat serta sarwa prani secara bertahap-tahap (evolusi). Manusia pertama disebut dengan nama "MANU" atau lengkapnya "Swayambu Manu". Ini bukanlah nama perseorangan, karena kalau dilihat artinya, "Swayam-bhu" berarti: pikiran yang menjadikan diri sendiri. Swayam = diri sendiri; bhu = menjadi; manu berarti; la yang mempunyai pikiran (manah = pikiran). Jadi kata Swayambhu manu berarti makhluk yang menjadikan dirinya sendiri, yaitu Manusia pertama. Kata Manu ini sekarang menjadi kata Manusia. Semua ini adalah keturunan Manu, dan dengan mengetahui arti kata manu, yaitu makhluk berpikir maka kita sebagai manusia hendaknya mempergunakan pikiran itu dalam sinar suci Sang Hyang Widhi Waca untuk meningkatkan hidup kita (manusia) dan hidup makhluk lainnya. Manusia pada dasarnya mempunyai benih suci dengan adanya jiwatma yang merupakan bagian dari pada Parama-Atman akan menuntut manu­sia ke arah kebenaran kesempurnaan dan kesucian. Tat Twam Asi me­rupakan dasar dari pada hubungan antara manusia dengan manusia. Hubungan manusia dengan manusia ini digerakkan pula oleh putaran Cakra Yajna, sedangkan mereka yang tidak memutar roda yajna ini, hidupnya akan sia-sia. Hubungan yang baik antara manusia dengan sesama pada dasarnya adalah sebagai berikut:

  1. Menuju kearah kesatuan dan persatuan.
  2. Beryajna, dana puniya dengan tulus ikhlas.
  3. Melaksanakan ajaran Tat Twam Asi.
  4. Menuju kerukunan, keselarasan.
  5. Meningkatkan kesadaran dan hubungan yang baik, harmonis mulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara serta umat manusia/dunia.
  6. Memelihara suasana damai untuk kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.

Dalam pustaka suci Sarasamucchaya, 152, tersebut:

"Apan tan hasa lewiha sangkeng prana agaraniya 'sangkeng'hurip mulya ring Triloka, matangniyan masifaa jugs ngwaag, sasihning agwang mawak, mangkana asihaning wang ring lea".

(Oleh karena itu tidak ada lebih mulia dari pada jiwa, hanya jiwalah yang harus dimuliakan di dunia, maka orang hendaklah mengasihi orang (makhluk) lain sebagai ia mengasihi dirinya sendiri. Demikian hendaknya kasih sayang pada orang lain).

c. Hubungan manusia dengan Rsi.

Umat manusia adalah berhutang budi kepada para Rsi dalam pengetahuan suci agama yang menuntun ke arah Dharma, kebenaran, kesempurnaan. Adapun kata rsi berasal dan pada bahasa Sanskerta dari kalimat:

Drsta Iti Rsi yang artinya orang-orang suci yang langsung mengetahui mantra-mantra Weda dari Tuhan sendiri orang suci yang menerima sabda suci (wahyu) mengenai ajaran Weda dari Tuhan. Rsi hampir sama sebutannya dengan bahasa Inggris Seer yaitu yang melihat langsung. Rsi adalah orang suci yang dapat mengetahui ilmu pengetahuan daiam tiga masa yaitu waktu dahulu, sekarang, dan yang akan datang (atita, wartamana, anagata).

Manusia pada umumnya menerima pengetahuan suci dari pada Rsi sebagai perantara, oleh karena itu merasa berhutang budi kepada Rsi (Rsi mam). Untuk membalas ini maka kita umat biasa harus hormat kepada para Rsi, menghaturkan dana puniya, membantu dalam keperluan hidup dalam arti yang luas serta meresapkan, menyebarluaskan dan mengamalkan ajaran-ajaran beliau.

d. Hubungan manusia dengan Bhuta.

Ucapan Tat Twam Asi adalah mengandung pengertian yang luas baik vertikal maupun horisontal merupakan dasar ajaran kesosialan dalam agama Hindu terhadap segala makhluk, sarwa bhuta atau sarwa prani. Bhuta dapat diartikan makhluk rendahan sebagai binatang, tumbuh-tumbuhan, unsur-unsur alam semesta yang terdiri dari pada panca maha-bhuta (lima unsur utama) yaitu: Akaca (ether), Wayu (hawa), Teja (sinar dan api), Apah (air, zatcair), Perthiwi (zat padat, tanah). Pengertian sarwa bhuta ini meliputi sakala (nyata) dan niskala (tidak-nyata). Kita manusia harus sadar, bahwa manusia mempunyai hubungan yang erat dengan alam semesta, dengan sarwa bhuta dalam hidup ini. Adapun dasar hubungan antara, manusia dan bhuta adalah Dharma dan Yajna. Bhuta Yajna merupakan korban suci kepada sarwa bhuta untuktercapainya keselarasan (keharmonisan), kesejahteraan bersama sebagai makhluk yang bersumber pada Tuhan (Sang Hyang Parama-Atma). Dalam pustaka suci "Sarasamuechaya", 95, disebutkan:

"Nyayekikadeyakensning wwang, ikang buddhi masih ring sarwa prani, yatika pagehakena, hawya ta dengki, hawya ta ragin, hawya ta humayamayam ikang wastu tan hana, wastu tan yukti kuneng, hawya ika inangenangen".

(Kebijaksanaan inilah yang patut diperhatikan oleh setiap orang yakni rasa cinta kasih terhadap segala makhluk. Itulah yang patut diutamakan, janganlah dengki, iri hati, jangan menginginkan sesuatu yang tidak ada dan yang tidak halal. Janganlah hal itu dipikirkan (diidam-idamkan).

Adalah orang yang seperti ini perilakunya; tidak kemasukan hati marah, tetapi mencintai kebenaran teguh pada brata (kepercayaan atas dirinya), kasih sayang terhadap segala makhluk karena tidak berbeda dengan diri­nya segala makhluk hidup itu pada perasaannya. Orang yang demikian prilakunya phala tirthayatra diperolehnya kelak kemudian; tirthayatra maksudnya pergi berkeliling dengan niat mengunjungi tempat-tempat suci.

TRI HITA KARANA

Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:

  1. Manusia dengan Tuhannya.
  2. Manusia dengan alam lingkungannya.
  3. Manusia dengan sesamanya.

unsur- unsur Tri Hita Karana.

 

  1. Unsur- unsur Tri Hita Karana ini meliputi:
    1. Sanghyang Jagatkarana.
    2. Bhuana.
    3. Manusia
  2. Unsur- unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut:

Bagawad Gita (III.10)

 

Sahayajnah prajah sristwa pura waca prajapatih anena prasawisya dhiwan esa wo'stiwistah kamadhuk.

 

Artinya:

 

Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.

 

Dalam sloka Bhagavad-Gita tersebut ada nampak tiga unsur yang saling beryadnya untuk mendapatkan yaitu terdiri dari:
Prajapati = Tuhan Yang Maha Esa.


Praja = Manusia

 

Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut:

  1. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya;
  2. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya;
    1. Parhyangan: Parahyangan untuk di tingkat daerah berupa Kahyangan Jagat, Di tingkat desa adat berupa Kahyangan desa atau Kahyangan Tiga, Di tingkat keluarga berupa pemerajan atau sanggah;
    2. Pelemahan: Pelemahan di tingkat daerah meliputi wilayah Propinsi Bali, Di tingkat desa adat meliputi "asengken" bale agung Di tingkat keluarga meliputi pekarangan perumahan
    3. Pawongan: Pawongan untuk di tingkat daerah meliputi umat Hindu di Bali,Untuk di desa adat meliputi krama desa adat, Tingkat keluarga meliputi seluruh anggota keluarga.

E.      Keluarga Sukinah Sebagai Tujuan Perkawinan Hindu.

  1. Rumah tangga yang tenteram dan damai.

Yatra suhardah skrto madanti

Vihaya rogam tanvah svayah (Yajur Veda VI. 120.3)

     Artinya:

"Semoga kami membuat rumah-rumah kami menjadi surga, dan orang yang berpikir mulia, saleh dan sehat bertempat tinggal dengan riang gembira".

Rumah yang nyaman, tentram, damai, dipenuhi tawa riang penghuninya merupakan dambaan setiap orang.  Semuanya berharap bisa tinggal bersama dengan orang-orang yang memiliki pikiran mulia, sehat jasmani dan rohani. Rumah yang dihiasi dengan kasih sayang merupakan surga bagi penghuninya dambaan bagi setiap keluarga.

Hal ini juga  menjadi dambaan bagi setiap insan yang akan dan sudah berumah tangga sebagai kelanjutan dari jenjang hidup setelah melewati Brahmacari melalui suatu perkawinan atau Wiwaha, seperti apa yang tersurat dalam Sloka di atas. 

Dalam ajaran agama Hindu kehidupan manusia telah diatur sedemikian rupa menjadi empat tingkatan atau jenjang kehidupan yang disebut ”Catur Asrama/Catur Marga”. Bagian-bagiannya adalah: Brahmacari, Grhasta, Wanaprastha dan Sanyasin atau Bhiksuka.  Dalam menjalani setiap jenjang kehidupan masing-masing memiliki kewajiban dan tingkat tanggung jawab yang berbeda-beda serta penekanan pada tujuan hidupnya. Seperti halnya pada masa Grhasta atau hidup berumah tangga, tanggung jawab, kewajiban serta penekanan tujuan hidup manusia berbeda dengan pada masa Brahmacari.

  1. Pengertian Perkawinan.

Manusia di samping sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial.  Sebagai mahluk sosial manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain.  Mereka memiliki sifat tergantung dan saling membutuhkan, demikian halnya antara pria dan wanita. Sudah menjadi kodratnya antara pria dan wanita memiliki naluri untuk saling mencintai serta saling membutuhkan. Hal ini menyebabkan adanya keinginan untuk  hidup bersama pada segala bidang dalam  suatu ikatan yang disebut perkawinan atau wiwaha.

Dalam Sloka Dharmajati diuraikan sebagai berikut:

Om pradanam purusa sang yoga ya,

Windu dewataya, bhoktra jagatnataya,

Dewa, dewi adi sang yoga ya.

Artinya:

"Ya Hyang Widhi, Engkaulah menciptakan dan mempersatukan kaum laki-laki dan kaum perempuan serta menghidupkan dan mengembangbiakkan dunia ini dalam tugas dan kedudukan di masyarakat".

Dari uraian sloka tersebut nampak jelas bahwa Sang Hyang Widhi yang menciptakan alam semesta beserta isinya termasuk mahluk laki-laki maupun perempuan, dan atas kehendak beliau juga kedua mahluk yang berlainan jenis dapat bersatu dalam ikatan lahir batin yang berwujud perkawinan/wiwaha. Wiwaha merupakan upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia pada khususnya dan alam semesta pada umumnya.

Dengan demikian perkawinan merupakan kodrat dan kehendak Sang Hyang Widhi. Perkawinan dalam masyarakat Hindu memiliki arti dan kedudukan khusus yang bersifat relegius (sakral) dan suci karena disahkan berdasarkan hukum agama di samping juga hukum formal. Menurut U.U. No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan akan membentuk adanya keluarga atau rumah tangga yang baru. Kata keluarga berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari kata Kula dan Warga.  Kula artinya abdi, hamba dan warga berarti jalinan, ikatan dan pengabdian. Dari arti tersebut Kulawarga berarti jalinan atau ikatan pengabdian. Keluarga merupakan jalinan atau ikatan pengabdian antara seorang laki-laki (suami) dengan seorang perempuan (istri) dan anak dalam mencapai tujuan bersama. 

Dasar ikatan dalam keluarga adalah pengabdian bukan pengorbanan. Oleh karena itu kurang benar adanya anggapan salah satu anggota keluarga merasa berkorban terhadap salah satu anggota yang lainnya, misalnya seorang ayah merasa telah berkorban terhadap anaknya atau seorang istri merasa telah mengorbankan hidupnya demi sang suami serta anak-anaknya. Ini semua akan menimbulkan rasa keakuan yang tinggi dalam keluarga yang berujung tidak harmonis dan perpecahan.  Semua anggota keluarga hendaknya menyadari dengan sepenuhnya bahwa apa yang dilakukan merupakan suatu persembahan terhadap Ida Sang Hyang Widhi sebagai wujud rasa bhakti yang tulus. Seperti yang dinyatakan dalam Kitab Sarasamuccaya sloka 90 berikut ini:

Niyaccahayaccha samyaccha mahastatha

Pratisedhayesvavadyesudurlabhesvahitesu ca

Artinya:

"Karena itu hendaknya dikekang, diikat kuat-kuat panca indriya dan pikiran itu, jangan dibiarkan akan melakukan tindakan melanggar, melakukan sesuatu yang tercela, sesuatu yang sukar untuk dicapai atau melakukan sesuatu yang pada akhirnya tidak menyenangkan".

  1. Tujuan Perkawinan

Tujuan hidup manusia dalam agama Hindu adalah Moksartham jagadhita ya ca iti dharma yaitu kebahagiaan lahir dan batin atau kebahagiaan di dunia maupun akhirat berdasarkan dharma.  Tujuan tersebut dijabarkan menjadi empat yaitu: dharma, artha, kama dan moksa.

Dharma artha kama moksanam sarira sadhanam, demikian  dalam Kitab Brahmana Purana dinyatakan, yang artinya badan wadah yang dianugerahkan oleh Ida Sang Hyang Widhi ini adalah dipergunakan untuk mencapai dharma, artha, kama dan moksa.

Dalam Kitab Sarasamuccaya sloka 135 juga dinyatakan sebagai berikut:

"Untuk menjamin tercapainya dharma, artha, kama dan moksa haruslah melakukan bhutahita artinya melestarikan dan mengupayakan kesejahteraan semua makhluk".

Dalam kehidupan berumah tangga dharma, artha, kama dan moksa merupakan tujuan hidup yang tidak bisa dilepaskan.  Dengan tercapainya keempat tujuan tersebut maka kebahagiaan jasmani dan rohani sehingga tercipta rumah tangga (Grha Paramita) atau keluarga sukinah akan terwujudkan dalam mengemban misi hidup dan kehidupan di alam semesta.   Hal ini sejalan dengan tujuan perkawinan yang tercantum dalam U.U. No. 1 Tahun 1974 Pasal 1.

Kebahagiaan jasmani dan rohani akan tercapai bila kita mampu melaksanakan Tri Hita Karana di dalam keluarga yang merupakan sumber kebahagiaan itu, yaitu “keselarasan hubungan dengan Sang Hyang Widhi, sesama manusia dan dengan lingkungan sekitarnya” yang terwujud ke dalam dua unsur yaitu:

  1. Selalu ingin menyesuaikan diri dan berusaha menjalin hubungan dengan elemen-elemen alam dan kehidupan yang mengitari.
  2. Ingin menciptakan suasana kedamaian dan ketenteraman antara sesama mahluk dan juga alam di mana manusia sebagai salah satu bagiannya. Sehingga keluarga memiliki fungsi yang sangat penting yaitu:
    1. Keluarga sebagai pusat kebahagiaan.
    2. Keluarga sebagai lembaga komunikasi dan diskusi.
    3. Keluarga sebagai lembaga pendidikan.

Melalui Grhasta diharapkan dapat melahirkan putra-putri yang nantinya dapat melaksanakan Pitra Yajna untuk menyelamatkan dan mendoakan leluhurnya agar leluhurnya mendapatkan jalan yang terang. Anak merupakan penerus kelanjutan kelangsungan hidup keluarga dan pelita keluarga.

Anak merupakan dambaan bagi keluarga yang akan memberi kehangatan dan kebahagiaan terhadap keluarga dan masyarakat pada umumnya. Anak atau putra/putri merupakan tempat berlindung bagi orang yang memerlukan, memberi pertolongan dan menyelamatkan arwah leluhurnya dari neraka.

Putra yang diharapkan bagi keluarga Hindu adalah anak yang bisa menjaga nama baik keluarga, berpengetahuan, cerdik cendikiawan, memiliki wawasan yang luas dan memiliki budhi pekerti yang luhur. Dalam agama Hindu anak seperti ini disebut anak suputra. Anak merupakan cerminan dari keberhasilan orang tua dalam membina keluarga yang dapat mengharumkan nama keluarga. Seperti yang dinyatakan dalam Rgveda III.4.9.

Yato virah karmanyah sudakso

yuktagrava jayate devakamah

Artinya:

"Tuhan Yang Maha Esa, berkahilah kami agar seorang putra yang gagah berani, giat, cerdas, yang memeras Soma, dan percaya terhadap Hyang Widhi lahir pada kami".

  1. Tugas Dan Kewajiban Anggota Keluarga

Keluarga merupakan bentuk kerja sama yang paling kecil. Tercapai tidaknya tujuan keluarga tergantung dari kerja sama masing-masing anggotanya.  Ketiga komponen keluarga, yaitu ayah, ibu dan anak merupakan mitra yang saling mendukung, saling isi mengisi serta menyadari kewajiban masing-masing.

  1. Kewajiban suami atau ayah:
    1. Wajib melindungi istri dan anak-anaknya seraya memperlakukan istrinya secara wajar dan hormat. Wajib memelihara kesucian hubungannya dengan saling mempercayai sehingga terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga.
    2. Menyerahkan harta kekayaan dan menugaskan istrinya mengurus arta rumah tangga, yajna serta ekonomi keluarga.
    3. Bila dinas luar daerah harus menjamin nafkah keluarganya.
    4. Wajib menggauli istri, sama-sama menjaga kesucian keturunannya serta menjauhkan diri dari unsur-unsur yang menimbulkan perceraian.
    5. Selalu merasa puas dengan istrinya.
    6. Wajib menjalankan Dharma Grhastin, Dharma Keluarga, Wangsa Dharma dan mengawinkan putra-putrinya pada waktunya.
    7. Berkewajiban melaksanakan Sraddha, Pitra Puja, memelihara cucunya dan melaksanakan Panca Yajna.
  2. Kewajiban istri.
  1. Istri sebagai ibu rumah tangga.
  2. Sebagai ibu rumah tangga, istri disebut ratu rumah tangga. Swadharmanya sebagai ibu rumah tangga bertugas mengatur segala urusan keluarga lahir batin.
  3. Istri sebagai penerus keturunan.
  4. Istri sebagai pembimbing anak.
  5. Istri sebagai penyelenggara kegiatan agama.

Perkawinan atau wiwaha merupakan awal dari memasuki kehidupan berumah tangga atau Grhasta yang merupakan jenjang kehidupan setelah Brahmacari Asrama. Perkawinan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia lahir dan batin. Dalam keluarga terjadi ikatan atau jalinan pengabdian antara seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagai istri dan anak-anak atau putra/putri dalam suatu pengabdian untuk mencapai tujuan bersama; yaitu keluarga yang bahagia lahir batin atau Keluarga Sukinah. Dalam mencapai tujuan keluarga tersebut hendaknya semua anggota keluarga menyadari sepenuhnya bahwa tugas dan kewajiban masing-masing merupakan suatu pengabdian atau yajna sebagai wujud bhakti kehadapan Hyang Widhi.

Pada kenyataan hidup di masyarakat banyak kita temukan adanya perceraian dengan alasan tidak adanya kecocokan lagi, perselingkuhan, materi, suami tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan lahir batin pasangan sesuai dengan yang mereka harapkan. Pada dasarnya hal tersebut terjadi karena mereka sama-sama menuruti ego masing-masing dan mengklaim bahwa perceraian sebagai jalan yang terbaik. Mereka lupa dengan tujuan awalnya membina hidup berkeluarga. Padahal kalau kita lihat di dalam Kitab Manawa Dharmasastra IX. Sloka 102 dan 101 secara  berturut-turut dinyatakan:

Tatha nityam yateyatam

Stripumsau tu krtakriyau,

Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram

Anyonyasyawayabhicaro bhawedamaranantikah,

Esa dharmah samasena jneyah stripumsayoh parah.

Artinya:

"Hendaknya lelaki dan perempuan yang terikat dalam perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lainnya. Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum yang tertinggi sebagai suami istri. 

Merujuk pada sloka di atas jelas dalam ajaran agama Hindu  tidak diharapkan adanya perceraian karena perkawinan merupakan sesuatu bersifat sakral dan suci. Wiwaha merupakan awal terbentuknya keluarga grhastha yang berlangsung seumur hidup. Keluarga  bukan sebagai tempat berkumpulnya laki-laki dan perempuan dalam suatu rumah hanya untuk makan minum dan memenuhi kebutuhan biologis. Sehingga masing-masing anggota keluarga memahami tujuan berkeluarga dan kewajibannya sesuai dengan yang diajarkan oleh agama masing-masing dan undang-undang yang berlaku.

"Sabda Gita Tentang Hidup"

a.   hidup adalah sebuah TANTANGAN      : HADAPILAH

b.   hidup adalah sebuah ANUGERAH       : TERIMALAH

c.   hidup adalah sebuah PETUALANGAN  : BERJUANGLAH

d.   hidup adalah sebuah DUKA CITA       : TANGGULANGILAH

e.   hidup adalah sebuah TRAGEDI          : TUNTASKANLAH

f.    hidup adalah sebuah TUGAS              : LAKSANAKANLAH

g.   hidup adalah sebuah PERMAINAN      : MAINKANLAH

h.  hidup adalah sebuah MISTERI            : SINGKAPLAH

i.    hidup adalah sebuah LAGU                : NYANGYIKANLAH

j.    hidup adalah sebuah KESEMPATAN   : AMBILLAH

k.   hidup adalah sebuah PERJALANAN    : JALANILAH

l.    hidup adalah sebuah JANJI                : PENUHILAH

m.  hidup adalah sebuah KASIH SAYANG : BERGEMBIRALAH

n.  hidup adalah sebuah KEINDAHAN      : BERSYUKURLAH

o.   hidup adalah sebuah PERJUANGAN   : BERTARUNGLAH

p.   hidup adalah sebuah JIWA                 : SADARILAH

q.   hidup adalah sebuah TEKA-TEKI        : PECAHKANLAH

r.   hidup adalah sebuah CITA-CITA           : CAPAILAH

Komentar